Rabu, 25 November 2015

Prinsip-Prinsip Komunisme

Komunisme

Pada tahun 1847 Engels menulis dua draf program untuk Liga Komunis dalam bentuk sebuah katekismus1,  satu pada bulan Juni, dan satunya lagi pada bulan Oktober. Draf kedua, yang dikenal sebagai Principles of Communism (Prinsip-prinsip Komunisme) terbit pertama kali pada tahun 1914. Dokumen yang lebih awal, yakni Draft of the Communist Confession of Faith (Draf tentang Pengakuan Iman Komunis) baru ditemukan pada 1968. Dokumen ini terbit pertama kali pada 1969 di Hamburg, bersama dengan empat dokumen lain yang terkait dengan kongres pertama Liga Komunis, dalam sebuah buklet berjudulGründungs Dokumente des Bundes der Kommunisten (Juni bis September 1847) (Dokumen-dokumen Pendirian Liga Komunis, Juni-September 1847).

Dalam Kongres Liga Keadilan yang digelar pada bulan Juni 1847, yang juga merupakan konferensi pendirian Liga Komunis, diputuskan untuk menerbitkan sebuah draf “pengakuan iman” untuk didiskusikan pada seksi-seksi Liga. Dokumen yang sekarang sudah ditemukan hampir pasti merupakan draf yang dimaksud. Perbandingan atas dua dokumen memperlihatkan bahwa Principles of Communism adalah sebuah edisi revisi dari draf yang lebih awal tersebut. DalamPrinciples of Communism, Engels meninggalkan tiga pertanyaan tanpa jawaban; dalam dua pertanyaan ia memberi dengan catatan “bleibt” (tidak berubah). Jelas hal ini merujuk pada jawaban-jawaban yang telah diberikan dalam draf yang lebih awal.

Rabu, 07 Oktober 2015

Pasal Penghinaan

Oleh: Ragil Nugroho

Saya punya teman, namanya Ignas Kleruk Mao. Asalnya dari Flores. Dulu masih kurus kerempeng, sekarang sudah seperti Mike Tyson. Tapi tentu bukan tentang tubuhnya yang ingin saya tuliskan, melainkan tentang pengalamannya di krangkeng karena dianggap menghina presiden.

Sebagai anggota LMND [Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi] DIY, Ignas mendapat tugas membantu pengorganisiran buruh dan mahasiswa di Surabaya. Berangkatlah dia ke Surabaya bersama aktivis mahasiswa Yogya lainnya. Saat itu bertepatan dengan kebijakan Rezim Mega menaikkan BBM/TDL. Sikap LMND dan PRD dengan tegas menolak. Maka digelar demonstrasi diberbagai kota.

Tentu saja di Surabaya aksi digelar. Ignas yang berada di Kota Pahlawan itu ikut aksi. Sebagai bentuk protes, para demonstran membakar foto Mega dan Hamzah Haz. Karena aksi ini semakin memanas dan terjadi di berbagai kota, rezim Mega panas juga. Apalagi fotonya diinjak injak dan dibakar. Aparat kepolisian kemudian diperintahkan untuk melakukan tindakan represif terhadap demonstran. Ignas salah satu yang ditangkap.

Sebetulnya Ignas tidak membakar foto presiden maupun wakilnya. Tapi Ignas membawa wayang-wayangnya berbentuk Mega. Tentu saja yang membuat wayang-wayangan ini bukan profesional sehingga hasilnya tak mirip aslinya. Mega yang dalam kenyataannya gemuk, dalam wayang-wayangan yang dibawa Ignas langsing seperti J-Lo. Mungkin inilah yang dianggap menghina presiden: Mega yang gemuk gombyor-gombyor digambarkan langsing seperti J-Lo. Bukankah itu penghinaan? Makanya Ignas ditangkap pada tanggal 21 Mei 2002.

Sebelum Ignas ditangkap, pada 13 Mei 2002, digelar aksi serupa. Pada saat ini patung Mega sebesar gajah dibakar sebagai protes terhadap rencana kenaikan BBM/TDL. Sebetulnya bukan pembakaran itu yang membuat rezim Mega marah. Sebabnya lagi-lagi patung Mega tersebut dikerjakan secara serampangan. Gemuknya sudah pas, tapi bagian payudara dan pantatnya dibuat kekecilan. Tentu saja membuat orang yang dipatungkan marah: masak payudara sebesar semangka cuma digambarkan sebesar jeruk keprok. Bukankah itu penghinaan? Maka sejak itu PRD/LMND diincar. Dan, puncaknya penangkapan Ignas.
Setelah proses di polisi selesai, Ignas diajukan ke pengadilan. Akhirnya divonis satu tahun penjara. Selama waktu itu ia mendiami penjara Medaeng.

Pelajaran dari kasus Ignas tersebut, kalau menggambarkan sosok presiden harus tepat. Jangan misalnya membuat wayang-wayangan Jokowi tapi bentuknya seperti Van Dam. Itu bisa dianggap menghina presiden.
Tentu saja bukan hanya Ignas yang ditangkap karena dianggap menghina presiden. Di Yogya ada Mahendra, aktivis LMND dan Yoyok, aktivis SPI [Serikat Pengamen Indonesia]. Mereka ditangkap setelah aksi di Bunderan UGM. Dalam aksi tersebut foto Mega dan Hamzah Haz si Peci Miring dibakar. Kedua aktivis tersebut kemudian di bawa ke Polres Sleman. Sebetulnya Mahendra tidak membakar, tapi karena yang memimpin aksi, ikut ditangkap juga.

Prosesnya sudah klise. Setelah proses di polisi selesai kemudian diajukan ke pengadilan. Nah, di pengadilan ini yang seru. Kedua aktivis tersebut kena pasal menghina kepala negara, tapi lagi lagi lewat pledoi, mereka kembali melakukan penghinaan. Kebetulan pledoi tersebut saya yang tulis. Isinya yang 70 halaman memang menghina rezim Mega. Maka hakim pun tak kuat ketika pledoi dibacakan. Baru halaman 10, hakim mengetok palu, memerintahkan agar pembacaan pledoi dihentikan. Akhirnya, setelah berbulan-bulan diadili, keduanya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Inilah hukuman terlama pasca reformasi dikenakan pada aktivis dianggap menghina presiden.

Rezim Mega tak hanya menggunakan pasal penghinaan untuk menghentikan demonstrasi mahasiswa. Tapi juga dengan teror. Kejadian yang akan saya ceritakan ini terjadi di jembatan Sayegan. Sepulang aksi di perempatan kantor pos Yogyakarta, Paulus Suryata Ginting, aktivis LMND, membonceng saya. Pelan pelan saja sepeda motor melaju. Santai sembari menikmati udara Yogya. Tiba-tiba, sampai di jembatan Sayegan, sekelebat saya lihat sepeda motor memepet kami. Tanpa bilang apa-apa, yang dibelakang mengayunkan benda (ternyata golak) ke kepala saya. “Prok”, helm yang saya gunakan pecah dua. Kontan saja, melihat diserang, saya lompat dari sepeda motor. Setelah itu pembacok tadi mengayunkan goloknya ke Paulus. Helmnya juga pecah. Ternyata kepala berdarah-darah. Saya sendiri merasa beruntung, walaupun ditebas pakai golok, tidak luka seincipun. Sebetulnya, sebelum peristiwa ini, saya sudah pernah dibacok preman bayaran. Kejadiannya pada tahun 1999 di sekre PRD Yogyakarta. Malam hari kejadiannya. Tiba-tiba segerombolan orang menyerang. Saya yang dekat dengan pintu sehingga melihat penyerang datang, teriak kalau ada penyerangan, sehingga yang di dalam rumah berhamburan menyelamatkan diri lewat pintu belakang. Saya yang berada paling belakang tak sempat menyelamatkan diri. Pada akhirnya punggung saya kena tebasan golok. Mau tidak mau saya berbalik. Ketika golok dianyunkan lagi, saya tangkis. Dua bacokan mengenai tangan. Entah kenapa si pembacok tiba tiba kabur. Maka selamatlah saya. Kalau pembacok tidak kabur, mungkin diri saya tinggal nama.

Akhirnya Paulus yang terluka parah kepalanya di bawa ke rumah sakit Panti Rapih. Dokter harus menjahit 30 jahitan untuk menghentikan pendarahan. Paulus pun akhirnya bisa diselamatkan.

Teror-teror seperti itu tak berhenti. Setelah Paulus kepalanya ditebas golok, beberapa waktu berselang sekretariat PRD/LMND Yogya dilembari bom molotov. Kejadiannya malam hari. Saat penghuni sedang bersantai, segerombolan orang melempar bom molotov. Tentu saja para penghuni rumah panik. Berhamburan menyelamatkan diri. Setelah penyerang pergi, baru diketahui sepeda motor yang di parkir di halaman depan dihancurkan dengan golok. Sebab musabab penyerangan itu tentu saja berkaitan dengan demonstrasi melawan kebijakan rezim Mega.

Tentu saja yang ditangkap dan diteror tidak hanya di Yogya. Di kota-kota lain seperti Semarang, Jakarta, Palu, dll. Rata rata yang diajukan ke pengadilan dihukum 6 bulan sampai 1 tahun. Tentu saja yang dikenakan pada mereka karena menghina kepala negara.

Kisah ini saya angkat kembali untuk mengingat masa ketika rezim Mega/PDIP berkuasa. Dan sekarang mereka berkuasa kembali. Maka tak mengherankan kalau pasal penghinaan akan dihidupkan lagi. Semua itu tak mengejutkan karena iman demokrasi yang dimiliki PDI P setipis rambut dibelah seribu. Ya: Menitipkan kekuasaan pada PDIP seperti menitipkan dendeng pada anjing.

Dan, untuk menghadapi situasi ini pilihannya hanya dua: diam takluk, atau bangkit melawan.***

Lereng Merapi. 10.08.2015

Note:
Tulisan ini pernah dipublikasihan di tikusmerah.com. Kami menyadari, tulisan ini diostkan di blog ini tanpa izin pengurus redaksi tikusmerah.com. Kami minta maaf yang sebesarnya, tetapi blog dibuat untuk kepentingan kita semua. Salam redaksi 

Kamis, 16 April 2015

Memahami Revolusi!

Oleh: Hugo Bernard
Revolusi

(Catatan ini dituliskan untuk memperlurus semua jenjang jaringan perlawanan yang berimpikan adanya revolusi terjadi di Papua, bukan hanya kita menafsirkan revolusi itu dari sudut pandang kita bebas dari NKRI, tetapi pehamananya luas dan kita bisa belajar dari revolusi negara-negara luar)

Revolusi itu akan terjadi dalam bentuk apa pun. Revolusi pun mempunyai bentuk dan rupa yang berbeda-beda, di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan.

Jadi revolusi merupakan perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Itu sebatas pengetahuan pengantar kilat.

Sekarang bagaimana menafsirkan dan membuat revolusi itu terjadi. Sekarang, misalnya, dalam Revolusi Rusia, Lenin dan tokoh puncak Partai Komunis mampu menjadi pemimpin yang kharismatik. Kita kalau menafsirkan dan memahami kembali, pokok-pokok pemikiran Lenin sejak revolusi itu terjadi. Lenin adalah sosok idealnya komunis yang kita kenal dengan manusia jenius dari Rusia.

Minggu, 12 April 2015

Filsafat dan Etika Dialog

Oleh: Mako Sani
Gambar Ilustrasi. Foto: NU Protestan

Tulisan ini sedikit menarik, ketika saya sendiri agak ragu untuk menuliskannya. Banyak pertimbangan yang terjadi dalam pikiran saya karena adanya sedikit benturan pemikiran antara teori besar para filusuf dunia dan kebiasaan orang Papua yang menjadi jaminan hidup mereka.

Dalam tulisan ini mungkin saya tidak akan membahas masalah konsep dialog yang menjadi masalah besar hingga sampai ini. Tidak jauh beda tetapi pandangan perspektifnya yang menjadi masalah dan hubungan antara konsep dialog dan tradisi orang Papua dalam menyelesaikan masalah. 

Dalam masyarakat multikultur dikenal dengan adanya suatu paham yang kita kenal dengan istilah disorganisasi dalam sistem yang berbeda. Konflik yang terus terjadi silih berganti karena adanya perbedaan persepsi mulai dari yang paling kecil hingga mencangkup kehidupan sosial masyarakat.

Dalam teori Marx, Marx meyakini bahwa konflik terjadi karena eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas sosial sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. Kelas –kelas sosial yang diyakini Marx, lahir karena adanya kepentingan, hingga lahirlah konflik yang mungkin sampai sekarang terjadi dalam sosial masyarakat kita.

Jumat, 20 Maret 2015

Agama dan Lembaga Organisasi, Pilihan Jalan Kebenaran Ada di Siapa?

Pulau Papua. Foto: Ist
Oleh: Oktovianus Wanggai

Beberapa kali baca status mengenai ajaran Israel di Papua melalui media sosial, Facebook, Twitter, Linkid, hingga media sosial lainnya, marak dengan timbulnya berbagai kontra dan pro, pasti selalu saja ujung-ujungnya lahirkan konflik adu domba melalui kata demi kata yang dikeluarkan berdasarkan alasan yang mungkin menurut para pengomentar sesuai dengan apa yang dia pikirkan.

Maraknya pro dan kontra yang lahirkan konflik horizontal antara golongan-golongan tertentu pun lahir dengan berbagai versi, diantaranya adalah bagi mereka yang pro terhadap ajaran Israel di Papua dan mereka yang kontra terhadap ajaran Israel di Papua, dan mungkin juga sebaliknya. 

Beberapa kali saya berdiskusi dengan teman-teman saya di kampus, kebetulan kami dikasih mata kuliah rekonsiliasi konflik dan filsafat agama di Indonesia. Dalam diskusi-diskusi tersebut, ada beberapa poin-poin yang sering kami kumpulkan dan itu menjadi bahan untuk kita renungkan sendiri, karena masing-masing dari kami pun juga memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ada yang dari Kristen Katolik, Protestan, juga Islam, kebetulan salah satu teman kami berasal dari Fak-Fak, West Papua. 

Selasa, 17 Maret 2015

Masalah West Papua Berjamur, Kemana Mahasiswa Papua?

Oleh: Manu Rumbiak
Wadah Persatuan West Papua melalui ULMWP
Saya kadang sedih dan menangis ketika menatap layar komputer dan menyaksikan berbagai persoalan di tanah air saya West Papua. Kesedihan itu timbul dengan berbagai pertimbangan yang saya rasakan dan membaca situasi tersebut kedepan, bagaimana nasib bangsa Papua nantinya?
Mungkin orang akan menganggap saya gila atau frustasi karena tidak bertanggung jawab dan saya sendiri tidak melakukan sesuatu untuk Bangsa Papua, tapi entah lah, itulah perasaan yang saya rasakan setelah melihat dan membaca berbagai kompleksitas persoalan yang melanda bangsa West Papua saat ini.
Tahun 2015 menjadi tahun baru bagi pergerakan bangsa West Papua (Baca: Radioz/Wenda) dan tahun baru adalah tahun perjuangan bangsa West Papua untuk merebut kembali manipulasi sejarah bangsa West Papua oleh Indonesia pada tahun 1969 silam.

Kritik Terhadap Para Penolak Eksekusi Mati dan Efek Perjuangan West Papua di Fasifik

Oleh: Decky Yaboisembut

Foto Doc PribadiFoto Doc Pribadi
(Sebuah kritik untuk para penolak hukuman mati narkoba lebih khususnya para intelek Papua meliputi kaum perempuan, laki-laki juga para relawan Papua yang merasa terlibat atas penolakan hukuman mati yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia, Jokowi Dodo beberapa waktu lalu)

Kada kita orang Papua terjebak dengan hal yang sederhana tetapi luar biasa. Jebakan itu mungkin diakibatkan oleh kurangnya pembacaan situasi diplomasi West Papua yang sangat minim atau bagaimana? secara mendasar, saya juga tidak tahu. Pada intinya bahwa apa yang kita lakukan mengenai aturan Eksekusi Mati kadang tidak tepat pada sasaran.

Sekarang sudah tren dan bukan hal baru mengenai aturan Eksekusi Mati oleh Pemerintah Indonesia. Aturan Eksekusi Mati karena narkoba menimbulkan banyak sekali isu dan propadanga juga kontraversi yang melegitimasikan para penyelidik dalam hal ini Komnas HAM sering melakukan sebuah upaya penyelamatan dengan alasan bahwa aturan Eksekusi Mati adalah sebuah keseriusan pelanggaran HAM yang sangat berat.

#‎PrayforVanuatu‬ dan Negara Melanesia lainnya, Perjuangan West Papua Jalan Terus

7 Wilayah Adat Berdoa bagi Negara-negara Melanesia dan Vanuatu
Akhir-akhir ini terjadi bencana alam yang sangat memilukan yaitu angin topan Pam yang terjadi di kawasan Fasifik, tepatnya di negara-negara Melanesia yang serumpun dengan bangsa West Papua, yaitu Vanuatu tepatnya. Topan Pam bertiup lebih lama di Vanuatu dari kawasan Hampir seluruh perkampungan di Vanuatu rusak karena topan tropis PAM yang tiba di negara tersebut hari Jumat (13/2/2015) kemarin. Jumlah kematian mencapai 44 orang, namun jumlah ini hanyalah laporan sementara yang belum dikonfirmasikan (baca: Jubi/15/03).

Di Kepulauan Solomon, Tikopia adalah salah satu pulau yang menerima dampak terburuk setelah topan Pam melewati pulau itu. Juga di Fiji, hingga Minggu (15/03) sore, penduduknya telah diminta untuk bersiap menghadapi kemungkinan paling buruk yang bisa terjadi karena topan Pam. (Baca: lanjut Jubi/15/03)

Senin, 02 Maret 2015

Pengantar Untuk Memahami Das Kapital [Bagian III]

Karl Marx / Foto: Ist
Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono

MEKANISME PENGHISAPAN NILAI LEBIH
1.        Rumusan K-K (Komoditi-Komoditi), K-U-K (Komoditi-Uang-Komoditi), dan U-K-U+ (Uang-Komoditi-Uang + Keuntungan/Profit)
Telah penulis sebutkan di muka bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia membutuhkan berbagai produk, dan untuk kepentingan inilah maka antara manusia satu dengan manusia lainnya saling menukarkan hasil kerjanya antara satu sama lain. Misalnya seorang petani yang membutuhkan meja akan menukarkan hasil kerjanya, berupa padi, dengan sebuah meja dengan seorang pembuat meja. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: K-K (Komoditi ditukar dengan Komoditi = padi ditukar dengan meja).
Dalam perkembangan selanjutnya pertukaran antar komoditi secara langsung tersebut tidaklah praktis, dan untuk mempraktiskan terjadinya tukar-menukar komoditi tersebut maka terciptalah uang. Uang adalah nilai universal yang berfungsi untuk ditukarkan dengan berbagai komoditi. Dan dengan uang inilah kemudian rumusan tukar-menukar barang/komoditi secara langsung mengalami pergeseran, orang ketika melepaskan komoditinya tidak lagi untuk mendapatkan komoditi, tetapi untuk mendapatkan uang demi untuk mendapatkan komoditi. K-U-K (Komoditi-Uang-Komoditi). Hal ini dapat dicontohkan secara konkret seperti ini: Ketika Kevin menjual padi, si kevin dari padi yang dijualnya tersebut mendapatkan uang sebagai alat pembayarannya sebesar Rp. 100 ribu. Dan dengan uang sebesar Rp. 100 ribu inilah kemudian dibelanjakan oleh Kevin untuk membeli sebuah meja seharga Rp. 100 ribu. Jadi, rumusan ini sebenarnya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa “orang menjual untuk membeli dan orang yang membeli adalah orang yang telah menjual hasil kerjanya.”

Catatan Penting untuk Saudara Natalius Pigai Tentang “Tembak Mati”

Oleh: Decky Yaboisembut

Papua Island / Foto: Ist
Saya beberapa hari ini membaca bukunya saudara Natalius Pigai tentang “Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Papua” dan berdiskusi tengan teman-teman. Saya adalah seorang mahasiswa dan aktivis Papua Merdeka yang setiap harinya turun di jalan dan melakukan aksi damai. Dalam buku ini saya dan teman-teman saya sering berdiskusi poin-poin inti yang saudara Natalius utarakan dalam analisis kritisnya mengenai Papua.

Sekarang kenapa saya menuliskan catatan ini kepada saudara Natalius Pigai sebagai anggota Komnas HAM yang hampir setiap hari mengomel-ngomel terkait masalah di atas masalah di Indonesia? Saya kadang heran dengan stegmen dan kebijakan yang diambilnya, saya bukan tukan ramal dan bukan tukan melihan sesuatu berdasarkan keinginan saya tetapi ini realita dan kenyataan Papua saat ini.
Beberapa waktu lalu selesai berdiskusi buku saudara Natalius, dan melihat apa-apa saja yang sering ia buat selama menjadi Komnas HAM kami sering mengapresiasinya, mulai dari kebijakan yang dikeluarkan dalam menangani kasus di Batam hingga kasus penembakan 5 warga sipil di Paniai. Saya mengapresiasi kebijakan yang ia telah buat, walau pun masalahnya belum selesai dan masih berproses.

Sabtu, 28 Februari 2015

Pengantar Memahami Das Kapital [Bagian II]

Karl Marx/ Foto: Ist
Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono

MANUSIA DAN KERJA
“Orang hidup harus makan, yang dimakan haruslah hasil dari kerja orang yang memakannya, kalau tidak kerja tidak makan, dan kalau tidak makan pasti mampus!” rentetan kalimat tersebut merefleksikan betapa antara makan (baca: memenuhi kebutuhan hidup) dan kerja (aksi mengubah alam untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup) merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat dan tidak terpisahkan antara satu sama lain. Jadi, intinya orang yang bekerjalah yang berhak untuk menikmati hasil kerjanya. Bagaimana halnya apabila orang mau menikmati/memakan hasil kerja orang lain, tetapi dia sendiri tidak bekerja? Wah, ini namanya perampokan! Orang-orang model kayak gini, dalam literatur Marxist, adalah orang-orang yang tergolong manusia yang ga beres, orang yang doyan menindas orang lain dengan cara menghisap hasil kerja orang lain. Inilah drakula sesungguhnya dalam dunia manusia. Dan keberadaan mereka secara nyata di dalam kehidupan manusia adalah bukti bahwa drakula tidak hanya sekadar mitos, tetapi merupakan kenyataan yang sangat nyata—Awas! ada hantu “Drakula,” ditengah-tengah kehidupan Anda, hantu Kapitalisme…!!!—
Ulasan dalam tulisan ini akan menjelujuri bagaimana mungkin orang yang tidak bekerja dapat menikmati hasil kerja orang lain, dan justru orang yang bekerja tidak dapat menikmati hasil kerjanya, terasing (teralienasi) dari hasil kerjanya sendiri, dan teralienasi dengan sesamanya. Oke Mas-Bro dan Mbak-Miss, penulis akan memulai mengulasnya dengan terlebih dahulu memaparkan tentang hubungan antara manusia dan kerja.

Pembunuhan Theys: Antara Kepentingan dan Arus Pergantian Pemimpin Indonesia 2014 [Bagian 1]

Theys Hiyo Eluai/ Foto:Ist
Oleh: Andhy Pekey

Pada awalnya untuk menuliskan tulisan ini sedikit kontraversi antara apa yang ingin saya tuliskan dan bagaimana kepentingan belaka dari kaum elit pusat terutama jakarta yang mencoba untuk menghancurkan tuang gerak orang Papua pada saat itu.

Tapi setelah banyak pertimbangan dan kesetaraan untuk menghubungkan antara kepentingan dan partai politik dari pembunuhan tersebut, secara struktural dan fungsional kepentingan menjadi aktor dari pembunuhan tokoh karismatik bangsa Papua 13 tahun yang lalu.

Tiga belas tahun yang lalu, tepatnya 10 November 2001, pukul 10.30 Waktu Papua (WP), Komandan Satgas Tribuana (Kopassus) Kol. Inf. Hartomo datang  menjemput Theys Hiyo Eluay, pemimpin besar Papua, di rumahnya. Berselang setengah jam kemudian, Theys Hiyo Eluay berangkat dari rumah menuju Hotel Matoa untuk mengikuti rapat Presidium Dewan Papua. 

Namun pemimpin besar Papua ini tak pernah pulang ke rumahnya di Sentani. Esok harinya, 11 November 2001, Theys Hiyo Eluay ditemukan sudah tak bernyawa dalam mobilnya di KM 9, Koya, Muara Tami, Jayapura. Tubuh Theys dalam posisi duduk terletang dan kedua kakinya memanjang ke depan. Di bagian pusat perutnya ada bekas goresan merah lembab. Tak ada yang menyangkal, Theys meninggal karena dibunuh (dilansir dari tabloidjubi.com edisi 10 November 2014).

Jumat, 27 Februari 2015

Pengantar Untuk Memahami Das Kapital [Bagian I]

Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono
Karl Marx/ Foto: IST

KOMODITI

Untuk megawali ulasan tentang Das Kapital perlu kiranya untuk memahami pengertian komoditi karena komiditi adalah titik sentral dari ulasan Marx tentang bekerjanya kapital di tangan para kapitalis. Dalam pandangan Marx komoditi adalah segala sesuatu (biasanya berupa barang dan jasa) yang diproduksi oleh manusia untuk diperjual belikan. Jika seorang tukang kayu pergi ke hutan kemudian menebang kayu, dan kayu yang ditebangnya tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan dasar untuk membuat sebuah meja makan, dan dengan pengetahuan dan keterampilannya dibuatlah sebuah meja makan oleh si tukang kayu tersebut, misalnya. Ketika meja makan tersebut telah selesai dibuatnya dan apabila meja makan yang dibuatnya tersebut tidak dia gunakan untuk kepentingannya sendiri atau keluarganya tetapi untuk kepentingan dijual-belikan, maka meja makan tersebut adalah sebuah komoditi. Jadi, status untuk dijual-belikan itulah yang memberikan identitas sebagai komoditi kepada sebuah meja makan yang dibuat oleh si tukang kayu tersebut.
Satu contoh lagi, misalnya ada seorang petani yang mengolah sawahnya untuk ditanami padi. Setelah padi yang dia tanam tersebut telah menguning dan dipanennya. Padi yang dipanen oleh petani tersebut apabila dikonsumsinya sendiri bukanlah komoditi. Namun, jika padi yang dipanennya tersebut kemudian diperjual-belikan, maka pada saat itulah padi yang dipanennya itu menyandang identitas sebagai komoditi.

Kamis, 26 Februari 2015

Andai Aku Seorang Indonesia

Aku Papua/ Foto:Ist


Oleh: Topilus B. Tebai.

Alangkah senangnya hati ini, seandainya saya mendapat kesempatan dari Tuhan, sesaat saja, menjadi seorang Indonesia. Ya, andai saya menjadi orang Indonesia, dengan kulitnya yang sawo matang, dengan rambutnya yang lurus, dan berperilaku seperti bangsa Indonesia.

Maksud saya, menjadi orang Indonesia sejati, tidak memiliki percampuran darah, dan punya kedudukan terhormat dalam pemerintahan negara Indonesia.

Saya pasti akan bersorak sorai bila sampai pada bulan Agustus, dimana ketika hari yang kunanti-nantikan itu tiba,  tanggal 17 Agustus,  aku merayakan hari kemerdekaan bangsaku, Bangsa Indonesia.

Saya, bila menjadi orang Indonesia, akan dengan gembira memandang ke angkasa biru, tempat dimana akan kulihat sang Merah Putih berkibar. Dengan kagum, akan aku lihat bendera itu, dan akan kubanyangkan betapa para pejuang yang telah mendahuluiku berjuang demi kemerdekaan yang sedang kunikmati ini.

Di Papua ini, satu hal yang membuatku paling bangga sebagai bangsa Indonesia adalah ketika bangsa Papua pribumi, mereka ikut pula bersama kami, merayakan hari ulang tahun kemerdekaan kami.

Kapitalis yang Meluas, Siapa Salah?

Oleh: Victor Mayor

”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri,” Pdt. I.S. Kijne pada 25 Oktober 1925 di Wasior-Manokwari.

Tulisan ini sebuah refleksi dan kritik kepada semua elemen pemerintah Papua dari berbagai segi kehidupan. Mungkin terlalu dini kalau saya bilang seperti itu, tetapi entahlah, memang kondisi masyarakat Papua sedang terjepit dan dijajah oleh bangsa asing yang mau menghancurkan kehidupan orang asli Papua.

Sebenarnya tulisan ini mengritik kebijakan pemerintah provinsi Papua dalam hal ini seluruh bupati dan kepala-kepala dan kaki tangan Indonesia yang bergaya sama seperti raja di tanah Papua. Saya seorang masyarakat biasa yang tidak mempunyai apa-apa, tapi mudah-mudahan melalui tulisan ini rakyat sadar tentang hal ini dan perlu untuk melawan semua ketidakadilan yang terjadi di tanah Papua ini.

Rabu, 25 Februari 2015

Transformasi Agama dan Rekonsiliasi Konflik di Papua

Oleh: Fadhal Heger

Bermula dan berangkat dari persoalan konflik yang belum juga usai dengan sebuah perspektif yang berbeda dengan jalan perjuangan yang sudah ada dan mungkin menjadi sebuah pengantar yang bisa membantu kita untuk merekonsiliasi persoalan ini dengan cara yang berbeda, yaitu dengan mentransformasikan agama sebagai sebuah wadah api perlawanan berusaha meluruskan dan mengkritisi garis perjuangan ini dengan kaca mata yang berbeda.

Agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyelesaikan persoalan bangsa, tetapi bagaimana di tengah-tengah multi agama yang sudah terbangun di Papua itu menjadi sebuah wadah, biar tidak bias melihat persoalan dengan kaca mata yang sama. Peran gereja sangat dibutuhkan begitu juga peran umat beragama lainnya, seperti Hindu, Budha dan Islam yang merjalelah di Papua.

Sabtu, 17 Januari 2015

Belajar dari "Tertahannya" Delegasi Papua Barat di PNG (Bagian II)



























Oleh: Vo Nguyen Giap Mambor

Beberapa kawan minta saya memetakan (memberikan pandangan), terkait persoalan yang menimpa sekitar 76 (atau lebih) delegasi Papua Barat (dan termasuk rombongan Papua New Guinea), yang hingga kemarin (4 Desember 2014)  "tertahan" di Distrik Gerehu, sebuah kota di pinggiran sebelah utara Port Moresby -- kota Gerehu dikenal luas karena memiliki perumahan besar, dan kebanyakan dihuni warga Papua Barat.

Saya menyanggupi tawaran tersebut dan semoga pemetaan ini bisa membantu kawan-kawan melihat "kesulitan" diplomasi kita hari-hari ini dan ke depannya, menuju cita-cita pembebasan Nasional Bangsa Papua Barat.

Beberapa faktor (atau kelompok) yang menghambat keberangkatan puluhan delegasi --tokoh terkemuka di tujuh wilayah adat Papua-- ini ke Saralana, Port Villa, Vanuatu.

PERTAMA: Peran pemerintah Amerika Serikat (AS). Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Papua New Guinea (PNG) saat ini adalah Melanie Higgins. Melanie sebelumnya menjabat Sekertaris Dua Bidang Politik di Kedutaan Besar AS untuk Indonesia (2009-2013), dan pindah ke PNG awal tahun 2013).

Belajar dari "Tertahannya" Delegasi Papua Barat di PNG (Bagian 1)
























Oleh: Vo Nguyen Giap Mambor

Beberapa kawan minta saya memetakan (memberikan pandangan), terkait persoalan yang menimpa sekitar 76 (atau lebih) delegasi Papua Barat (dan termasuk rombongan Papua New Guinea), yang hingga kemarin (4 Desember 2014)  "tertahan" di Distrik Gerehu, sebuah kota di pinggiran sebelah utara Port Moresby -- kota Gerehu dikenal luas karena memiliki perumahan besar, dan kebanyakan dihuni warga Papua Barat.

Saya menyanggupi tawaran tersebut dan semoga pemetaan ini bisa membantu kawan-kawan melihat "kesulitan" diplomasi kita hari-hari ini dan ke depannya, menuju cita-cita pembebasan Nasional Bangsa Papua Barat.

Beberapa faktor (atau kelompok) yang menghambat keberangkatan puluhan delegasi --tokoh terkemuka di tujuh wilayah adat Papua-- ini ke Saralana, Port Villa, Vanuatu.

PERTAMA: Peran pemerintah Amerika Serikat (AS). Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Papua New Guinea (PNG) saat ini adalah Melanie Higgins. Melanie sebelumnya menjabat Sekertaris Dua Bidang Politik di Kedutaan Besar AS untuk Indonesia (2009-2013), dan pindah ke PNG awal tahun 2013).