KOMODITI
Untuk megawali ulasan tentang Das Kapital perlu
kiranya untuk memahami pengertian komoditi karena komiditi adalah titik sentral
dari ulasan Marx tentang bekerjanya kapital di tangan para kapitalis. Dalam
pandangan Marx komoditi adalah segala sesuatu (biasanya berupa barang dan jasa)
yang diproduksi oleh manusia untuk diperjual belikan. Jika seorang tukang kayu
pergi ke hutan kemudian menebang kayu, dan kayu yang ditebangnya tersebut
kemudian dijadikan sebagai bahan dasar untuk membuat sebuah meja makan, dan
dengan pengetahuan dan keterampilannya dibuatlah sebuah meja makan oleh si
tukang kayu tersebut, misalnya. Ketika meja makan tersebut telah selesai
dibuatnya dan apabila meja makan yang dibuatnya tersebut tidak dia gunakan
untuk kepentingannya sendiri atau keluarganya tetapi untuk kepentingan
dijual-belikan, maka meja makan tersebut adalah sebuah komoditi. Jadi, status
untuk dijual-belikan itulah yang memberikan identitas sebagai komoditi kepada
sebuah meja makan yang dibuat oleh si tukang kayu tersebut.
Satu contoh lagi, misalnya ada seorang petani yang
mengolah sawahnya untuk ditanami padi. Setelah padi yang dia tanam tersebut
telah menguning dan dipanennya. Padi yang dipanen oleh petani tersebut apabila
dikonsumsinya sendiri bukanlah komoditi. Namun, jika padi yang dipanennya
tersebut kemudian diperjual-belikan, maka pada saat itulah padi yang dipanennya
itu menyandang identitas sebagai komoditi.
NILAI PAKAI
Jika seseorang memakai sepatu sebagai alas kakinya,
pertanyaannya adalah mengapa orang tersebut memakai sepatu itu? Karena sepatu
yang dipakai oleh orang tersebut berfungsi sebagai alas kaki, menyelimuti
kakinya dari debu, kotoran, air atau hawa dingin/panas. Mari disodorkan
pertanyaan kepada orang tersebut? Bagaimana apabila sepatu yang dipakai oleh
orang tersebut tidak memenuhi fungsi kegunaannya tersebut, misalnya sepatu itu
sempit dan tidak muat ketika dikenakan oleh kaki orang tersebut? Tentunya orang
tersebut akan menjawab bahwa dia tidak akan memakai sepatu tersebut karena
ukurannya yang tidak sesuai dengan telapak kakinya. Berangkat dari sini,
sekarang mari mengulas apa yang dinamakan dengan nilai pakai. Nilai pakai
sesungguhnya tercermin dari fungsi dari sepatu tersebut dan fungsi tersebut
dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan orang tersebut. Jadi, nilai pakai dapat
didefinisikan sebagai komoditi yang berguna bagi si pengkonsumsinya. Jika suatu
komoditi (dalam hal ini sepatu) apabila tidak berguna bagi si pengkonsumsinya,
maka komoditi tersebut nilai pakainya sedang “ditidurkan.”
Nilai pakai dalam perealisasiannya dapat
diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yakni nilai pakai relatif dan nilai pakai
universal. Nilai pakai relatif adalah komoditi yang berguna bagi orang-orang
tertentu saja. Misalnya, sepatu atau baju bayi yang hanya berguna bagi bayi
saja atau sebuah celana dengan ukuran tertentu yang hanya berguna bagi
orang-orang yang memiliki ukuran lingkar pinggul tertentu saja. Sedangkan nilai
pakai universal adalah komoditi yang berguna bagi siapa saja, misalnya sebuah
komputer, note book yang digunakan untuk menggunakan menulis naskah ini, atau
kendaraan bermotor. Inti pemahaman dari nilai pakai terletak pada berguna
tidaknya sebuah komoditi yang diproduksi oleh manusia. Jika sebuah komoditi
tidak berguna, maka komoditi tersebut tidak dapat disebut sebagai komoditi yang
mengandung nilai pakai. Namun, jika komoditi tersebut berguna untuk memenuhi
kebutuhan manusia, maka komoditi tersebut adalah komoditi yang mengandung nilai
pakai. Jadi, nilai pakai ada pada kebergunaan suatu komoditi.
Suatu komoditi, sebagaimana telah penulis sebutkan,
selain mengandung nilai pakai, komoditi juga mengandung nilai tukar? Apa yang
dimaksud dengan nilai tukar tersebut? Dalam ulasan berikut penulis berusaha
untuk mengulas mengenai pengertian atau pemahaman tentang nilai tukar.
NILAI TUKAR
Menurut Marx nilai tukar yang terkandung dalam
sebuah komoditi akan tercermin ketika terjadi perjumpaan dengan komoditi
lainnya. Kedua komoditi yang saling berjumpa tidak hanya sebagai syarat untuk
menemukan cermin nilai tukar, tetapi juga digunakan untuk dilakukannya
penyetaraan komoditi. Dua pasang sepatu, misalnya, nilai tukarnya terkandung di
dalam sebuah jas ketika antara sepatu dan jas dipertemukan atau saling
berjumpa. Demikian pula sebaliknya, sebuah jas, nilai tukarnya, tercermin dalam
dua pasang sepatu.
Jika seseorang ingin mendapatkan sebuah jas, maka
orang yang bersangkutan harus memiliki dua pasang sepatu untuk mendapatkan
sebuah jas yang diinginkannya. Demikian juga halnya, apabila ada seseorang yang
menginginkan dua pasang sepatu, maka orang yang bersangkutan harus memiliki
sebuah jas untuk ditukarkan pada dua pasang sepatu. Berangkat dari sini,
penulis sebenarnya hanya ingin menyampaikan kepada pembaca, bahwa nilai tukar
yang terkandung di dalam sebuah komoditi harus memiliki kemampuan untuk
menukarkan dirinya dengan komoditi lainnya. Selain harus memiliki kemampuan
tersebut, syarat lainnya adalah komoditi yang bersangkutan harus memiliki nilai
pakai yang berbeda dengan nilai pakai dengan komoditi lainnya. Sepatu,
misalnya, nilai pakainya berbeda dengan nilai pakai sebuah jas. Apabila sepatu
nilai pakainya terletak pada kegunaannya sebagai alas kaki, maka sebuah jas
nilai pakainya terletak pada kegunaannya untuk membungkus tubuh. Jadi, ada
perbedaan nilai pakai antara sepatu dan jas. Pertanyaannya, mengapa secara
kuantitas, ada perbedaan antara pertukaran antara sepatu dan jas? Maksudnya,
mengapa dua sepasang sepatu hanya bisa ditukarkan oleh sebuah jas? Mengapa
tidak satu sepasang sepatu dan satu buah jas saja yang berlaku dalam pertukaran
diantara dua komoditi yang saling berjumpa tersebut? Berikut ini penulis akan
berusaha untuk dijawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sebuah komoditi di dalam dirinya selain dapat
dilihat wujudnya secara ragawi (misalnya dilihat—secara ragawi—sebagai sebuah
sepatu, jas, tas, atau sebuah buku bacaan), di dalam ragawi komoditi tersebut,
sebagaimana telah penulis ulas, juga mengandung dua nilai, yakni nilai pakai
dan nilai tukar. Yang harus dicatat, berangkat dari sini, apapun bentuk dan
kandungan nilai yang ada dalam komoditi tersebut, komoditi tersebut bisa ada
dan dapat dinikmati kegunaannya bagi manusia karena diproduksi oleh manusia.
Orang yang memproduksi komoditi ini dinamakan dengan pekerja. Artinya, komoditi
bisa ada karena adanya curahan kerja dari pekerja. Tanpa adanya curahan kerja
dari pekerja, komoditi tidak akan pernah ada dan dapat dinikmati oleh manusia.
Contoh konkretnya seperti ini, sebagaimana telah penulis sebutkan di muka, bahwa
untuk membuat sebuah meja makan si pembuatnya (baca: pekerja) harus memiliki
sebuah batang kayu terlebih dahulu sebagai bahan baku untuk dibuat sebuah meja
makan. Tidak hanya memiliki sebuah batang kayu, orang tersebut juga harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memproduksi/mengerjakan batang kayu
itu menjadi sebuah meja makan. Proses memproduksi/mengerjakan inilah yang
dinamakan dengan curahan kerja. Tanpa adanya curahan kerja dari orang tersebut,
sebatang kayu hanya akan teronggok menjadi batang kayu, batang kayu tersebut
tidak akan pernah menjadi sebuah meja makan, walaupun orang memohon kepada
Tuhan agar batang kayu tersebut dapat berubah dengan sendirinya menjadi sebuah
meja makan, “sim salabim, cling!” tidak akan pernah batang kayu itu akan menjadi
sebuah meja makan, bahkan kalau didiamkan saja bertahun-tahun, bisa jadi,
batangan kayu tersebut menjadi lapuk dan kualitasnya menurun. Jadi, curahan
kerja adalah syarat mutlak atau harus ada pada sebuah keberadaan komoditi.
Dalam memproduksi komoditi, durasi curahan kerja
antara satu komoditi dan komoditi lainnya tidak sama atau berlain-lainan,
tergantung tingkat kesulitan atau kerumitan dari sebuah proses produksi sebuah
komoditi. Misalnya, sepasang sepatu proses produksinya memakan waktu selama 1
hari sedangkan sebuah jas proses produksinya memakan waktu selama 2 hari.
Sebuah jam tangan, misalnya, proses produksinya memakan 2 hari sedangkan sebuah
pakaian batik proses produksinya memakan waktu 4 hari. Nah, perbedaan durasi atau
jangka waktu antara komoditi satu dengan yang lainnya inilah yang membuat
komoditi memiliki nilai tukar yang berbeda-beda antara satu sama lain apabila
mereka saling dipertukarkan. Misalnya, karena proses produksi sepasang sepatu
memakan waktu 1 hari sedangkan sebuah jas dalam proses produksinya memakan
waktu 2 hari, maka ketika mereka dipertukarkan 2 pasang sepatu hanya dapat
ditukarkan oleh 1 buah jas. Di sinilah letak rahasia dari perbedaan nilai tukar
antara komoditi satu dengan komoditi lainnya. Artinya perbedaan nilai tukar
antar komoditi mencerminkan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh pekerja
untuk mencurahkan kerjanya dalam memproses sebuah komoditi. Dari sini, mungkin,
ada sebuah pertanyaan yang mencuat seperti ini: “bagaimana apabila ada pekerja
yang hanya bermalas-malasan dalam bekerja, sehingga jangka waktunya itu menjadi
melar atau panjang, apakah komoditi yang diproduksinya tersebut, karena lama
jangka waktu memproduksinya, nilai tukarnya menjadi naik dari nilai tukar
normalnya?” Marx dalam buku yang ditulisnya, “Das Kapital Jilid I,” mengatakan
bahwa pekerja yang pemalas, yang meproduk komoditinya lebih lama tersebut, akan
menghasilkan nilai tukar yang normal seperti komoditi sejenis yang tidak
dibuatnya. Mengapa? Karena hitungan durasi curahan kerja yang dimaksud Marx
adalah durasi curahan kerja secara sosial. Jadi, Marx menggunakan standar
sosial untuk menentukan durasi curahan kerja tersebut. Marx tidak perduli bahwa
seorang pekerja itu pemalas atau rajin karena standar durasi curahan kerja
secara sosiallah yang dipakai untuk menyetarakan antara nilai tukar komoditi
satu dengan yang lainnya ketika komoditi saling dipertukarkan.
KERJA KONKRET, BERGUNA DAN KERJA
ABSTRAK
Jika seorang pemahat patung melihat sebongkah batu
yang teronggok dihadapannya, apa yang dilihat oleh si pemahat tersebut? Pemahat
tersebut melihat adanya suatu potensi di dalam sebongkah batu tersebut. Si
pemahat tersebut akan melihat sebongkah batu tersebut sebagai potensi untuk
dibentuk sebuah patung. Penglihatan si tukang pemahat patung ini berbeda halnya
dengan seorang ahli bangunan. Ahli bangunan tidak melihat sebongkah batu
tersebut sebagai potensi untuk dibuat sebuah patung, akan tetapi ahli bangunan
ini akan melihat potensi sebongkah batu tersebut sebagai fondasi sebuah
bangunan atau, bisa jadi, sebagai dinding dari sebuah bangunan.
Potensi dapat didefinisikan sebagai kandungan
bentuk pada suatu obyek. Kandungan bentuk dari suatu obyek ini akan mejadi
bentuk yang konkret apabila ada proses produksi terhadap obyek tersebut, yang
tentu saja melibatkan curahan kerja dari orang yang mengerjakannya (misalnya
pemahat yang membuat batu itu berubah menjadi patung, atau si ahli bangunan
yang mengubah sebongkah batu tersebut menjadi serpihan-serpihan dan dari
serpihan tersebut si ahli bangunan ini menyusun dan menjadikannya sebuah
dinding bangunan yang estetis). Proses produksi yang melibatkan curahan kerja
di dalam obyek berupa batu tersebut inilah yang dinamakan dengan kerja konkret.
Kerja konkret secara ringkas dapat dicontohkan: tukang jahit menjahit bahan
baju dan jadilah baju, seorang tukang patung memahat sebongkah batu dan jadilah
patung, seorang koki memasak daging sapi dan jadilah rendang, atau seorang
petani menggarap sawah dan jadilah beras. Atau lebih ringkasnya lagi, kerja
konkret, dapat dicontohkan seperti ini: tukang jahit menjahit, tukang patung
memahat, seorang koki memasak, dan seorang petani memaculi sawah.
Manusia melakukan kerja kokret sudah tentu didasari
oleh suatu tujuan. Apa tujuan dari kerja konkret yang dilakukan oleh manusia?
Tujuan dari kerja kokret tidak lain adalah menciptakan kebergunaan. Produk
akhir dari hasil kerja konkret itu—sudah tentu bertujuan untuk memberikan
manfaat atau kegunaan bagi si penggunanya. Misalnya, hasil dari pertanian
berguna untuk mencukupi kebutuhan makan si pengguna atau si pengkonsumsinya
atau hasil kerja si tukang kayu yang menghasilkan sebuah pintu yang berguna
sebagai pintu rumah atau sebuah bangunan. Jadi, aktivitas kerja yang dilakukan
manusia terdiri dari dua kualitas, yakni kerja konkret dan kerja berguna. Kerja
konkret dan kerja berguna ini merupakan syarat mutlak bagi terciptanya sebuah
komoditi.
Telah penulis sebutkan bahwa di dalam sebuah
komoditi terkandung dua nilai, yakni nilai pakai dan nilai tukar. Untuk memunculkan
nilai yang disebutkan terakhir tersebut ada syarat yang harus dipenuhi oleh
komoditi, yakni mempertemukan antara komiditi satu dengan komoditi lainnya.
Dari pertemuan antar komoditi inilah kemudian antar komoditi tersebut dapat
saling mencerminkan nilai tukarnya masing-masing. Ketika antar komiditi ini
saling mencerminkan nilai tukar antara satu sama lain, maka berlakulah hukum
penyetaraan. Misalnya, dua pasang sepatu—ketika ditukarkan—memiliki kesetaraan
dengan satu buah jaket atau sepuluh buah kendaraan bermotor roda dua setara
dengan satu buah mobil sedan. Menurut seorang filsuf dari zaman Yunani Kuno,
Aristoteles, kesetaraan antara komoditi satu dengan yang lainnya ketika saling
ditukarkan sesungguhnya antara komiditi tersebut tidak dapat dikatakan setara
karena apabila dilihat dari proses memproduksinya antara komoditi satu dengan
komoditi lainnya, secara kualitas, sangat jelas berbeda. Kerja konkret dan
kerja berguna yang dicurahkan ke dalam komoditi-komoditi yang saling
dipertemukan tersebut sangatlah berbeda, misalnya kerja konkret dan kerja
berguna petani berbeda dengan kerja konkret dan kerja berguna dari seorang
tukang kayu. Dan berangkat dari perbedaan inilah yang menjadikan komoditi tidak
mungkin disetarakan nilai tukarnya apabila mereka saling dipertemukan antara
satu dengan yang lainnya (Aristoteles dalam David Smith dan Phil Evans, 2004).
Marx mengakui atas ketidak setaraan antar komoditi yang saling dipertemukan
tersebut, namun demikian Marx tetap mengakui adanya kesetaraan antar komoditi
yang saling dipertemukan dan dipertukaran tersebut, akan tetapi walaupun Marx
mengakui adanya kesetaraa tersebut, Marx sepakat dengan Aristoteles bahwa
kesetaraan tidak dapat ditemui dari kerja konkret dan kerja berguna yang
tercurah dari sebuah komoditi. Menurut Marx kesetaraan itu terletak dari
kesepakatan sosial dari masyarakat. Berangkat dari kesepakatan sosial yang
menyetarakan nilai tukar antara komoditi satu dengan komoditi yang lainnya,
maka Marx mengatakan bahwa kerja yang tercurah—untuk menilai kesetaraan
itu—bukanlah kerja konkret atau pun kerja berguna, akan tetapi kerja abstrak.
Yah, inilah yang dimaksud dengan kerja abstrak oleh Karl Marx, curahan kerja
yang hasil akhirnya menciptakan nilai tukar komoditi satu dengan komoditi
lainnya dimana nilai tukar ini disepakati secara sosial setara.
NILAI RELATIF
Sebelum diulas mengenai kerja konkret, kerja
berguna dan kerja abstrak penulis telah mengulas tentang pengertian tentang apa
yang dinamakan dengan nilai lebih dan nilai tukar. Dalam ulasan berikutnya,
penulis berusaha untuk menjabarkan tentang pengertian nilai relatif yang
terkandung dalam sebuah komoditi.
Nilai relatif muncul di dalam dunia pertukaran
antar komoditi. Ketika antar komoditi saling dipertukarkan, sebagaimana telah
penulis sebutkan, seketika itulah antar komoditi satu dengan komoditi yang
lainnya saling mencerminkan nilai tukarnya masing-masing. Misalnya, ketika
komoditi berupa jaket dipertemukan dengan komoditi berupa satu unit komputer
untuk dipertukarkan, maka jaket akan mencerminkan nilai tukar satu unit
komputer, demikian pula sebaliknya. Hanya dengan 50 buah jaketlah orang bisa
menukarkannya dengan satu unit komputer, dan jika orang ingin memiliki 50
jaket, maka orang tersebut harus menukarkannya dengan satu unit komputer. Jadi,
satu unit komputer mencerminkan 50 buah jaket, sedangkan 50 jaket mencerminkan
satu unit komputer. Di dalam dunia pertukaran antar komoditi, ternyata,
komoditi berupa satu unit komputer ini tidak hanya dapat mencerminkan komoditi
berupa jaket saja. Satu unit komputer dapat mencerminkan berbagai komoditi
selain jaket, misalya, dia juga bisa mencerminkan nilai tukar sebuah sepeda,
televisi, meja makan, jam dinding, atau alat musik berupa gitar.
Kemampuan 1 unit komputer, sebagaimana penulis
tunjukan dalam bentuk skema tersebut, untuk mencerminkan berbagai nilai tukar
komoditi, menurut Karl Marx, hal inilah yang dinamakan dengan nilai relatif.
Atau dengan kata lain, menurut penulis, dapatlah dikatakan sebagai nilai
patokan atau kiblat dari semua komoditi.
Nilai relatif atau pengkiblatan dari berbagai
komoditi kepada satu bentuk komoditi ini, dalam perkembangannya, menderivasikan
(menurunkan/mewariskan) interaksi pertukaran antara komoditi satu dengan yang
lainnya, selain interaksi pertukaran antara 1 unit komputer dengan berbagai
komoditi tersebut. Jika orang ingin memiliki 2 buah sepeda, maka dia harus
memiliki 50 buah jaket sebagai alat tukarnya (2 buah sepeda >> 50 buah
jaket). Jika orang ingin memiliki 3 buah gitar, maka dia harus memiliki 24 jam
dinding (3 buah gitar >> 24 buah jam dinding) sebagai nilai tukarnya, dan
begitu seterusnya, dimana pertukaran antar komoditi tersebut nilai tukarnya
berkiblat kepada 1 unit komputer.
Nilai relatif, yang sebenarnya merupakan
pencerminan dari curahan kerja abstrak oleh pekerja pada masing-masing komoditi
tersebut, yang mewujud dalam bentuk satu komoditi (1 unit komputer) sebagai
patokan atau kiblat, dalam perkembangannya, nilai relatif ini digantikan dengan
emas. Yah, emas, sampai dengan saat ini, dijadikan sebagai nilai relatif
terhadap berbagai interaksi nilai tukar berbagai komoditi, yang pada saat
ini–berbagai komoditi tersebut–digantikan oleh simbol (tanda) berupa uang. Atau
dengan kata lain emas disepakati secara sosial sebagai nilai relatif yang
menjadi patokan atau kiblat dari berbagai nilai tukar yang pada saat ini
menubuh dalam bentuk uang sebagai pengganti komoditi. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini penulis tunjukan hal ini dalam bentuk skema, sebagai berikut ini:
FETISHISME
Fetisisme adalah mitos atau khayalan. Di dalam
dunia pertukaran antar komoditi fetisisme ini muncul dari kalangan
ilmuwan-ekonom borjuis. Menurut ekonom borjuis komoditi sebagai kekuatan alat
tukar terhadap komoditi lainnya, kekuatannya tersebut muncul dengan sendirinya.
Dan karena dia muncul secara spontan dengan sendirinya, maka kemunculannya
tersebut diamini oleh manusia dan kemudiaan, akhirnya, nilai tukar yang
terkandung dalam komoditi tersebut disepakati secara sosial. Para ekonom
borjuis tidak melihat adanya curahan kerja dari pekerja yang memproduksi
komoditi yang kemudian mendorong berbagai nilai yang dikandung oleh komoditi
tersebut. Anggapan dari para ekonom borjuis yang menganggap bahwa nilai tukar
yang terkandung di dalam komoditi terlepas dari curahan kerja para pekerja
tersebut, oleh Karl Marx diistilahkan dengan para ekonom vulgar yang
terperangkap dalam kesadaran fetisisme.
Sebagaimana telah berusaha
penulis ulas sebelumnya, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam komoditi,
seperti nilai pakai, nilai tukar, dan nilai relatif kemunculannya di dorong
oleh aktivitas para pekerja yang mencurahkan kerjanya pada suatu obyek (alam)
demi untuk terciptanya atau terproduksinya sebuah komoditi. Jadi, tidak benar
apabila nilai-nilai yang terkandung di dalam komoditi tersebut muncul dengan
sendirinya. Para ekonom borjuis, dengan mengatakan seperti itu, seakan-akan
ingin menyampaikan bahwa nilai tukar yang terkandung di dalam komoditi itu
adalah roh yang ditiupkan oleh Tuhan ke dalam tubuh-ragawi komoditi. Suatu
prilaku yang sangat menggelikan. [Bersambung]
Ismantoro Dwi Yuwono yang akrab
dipanggil dengan nama Isman ini dilahirkan di Kota Yogyakarta pada kamis legi
16 Oktober 1976. Isman menyelesaikan studi ilmu hukumnya, pada 2001, di
Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Aktif menulis buku dan berdiskusi.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di tikusmerah.com dan menjelaskan secara singkat pengantar untuk memahami Das kapital oleh Karl Marx. Kami sadar bahwa tulisan ini dipost di blog ini tanpa izin penulis dan media tersebut, kami menyadari tulisan ini sangat bermanfaat untuk berbagi pengetahuan sesama orang Papua, untuk menyadari Das Kapital dan sebagai implementasi kehidupan manusia Papua hingga menyadari ekonomi orang Papua yang sesungguhnya.
#NyamukPapua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar