Selasa, 17 Maret 2015

Kritik Terhadap Para Penolak Eksekusi Mati dan Efek Perjuangan West Papua di Fasifik

Oleh: Decky Yaboisembut

Foto Doc PribadiFoto Doc Pribadi
(Sebuah kritik untuk para penolak hukuman mati narkoba lebih khususnya para intelek Papua meliputi kaum perempuan, laki-laki juga para relawan Papua yang merasa terlibat atas penolakan hukuman mati yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia, Jokowi Dodo beberapa waktu lalu)

Kada kita orang Papua terjebak dengan hal yang sederhana tetapi luar biasa. Jebakan itu mungkin diakibatkan oleh kurangnya pembacaan situasi diplomasi West Papua yang sangat minim atau bagaimana? secara mendasar, saya juga tidak tahu. Pada intinya bahwa apa yang kita lakukan mengenai aturan Eksekusi Mati kadang tidak tepat pada sasaran.

Sekarang sudah tren dan bukan hal baru mengenai aturan Eksekusi Mati oleh Pemerintah Indonesia. Aturan Eksekusi Mati karena narkoba menimbulkan banyak sekali isu dan propadanga juga kontraversi yang melegitimasikan para penyelidik dalam hal ini Komnas HAM sering melakukan sebuah upaya penyelamatan dengan alasan bahwa aturan Eksekusi Mati adalah sebuah keseriusan pelanggaran HAM yang sangat berat.

Jebakan utama yang kerap kita dijebak dengan situasi saat ini adalah, kita kadang utamakan kepentingan dibandingkan mengutamakan kepentingan orang banyak dalam hal ini bangsa West Papua yang merindukan adanya sebuah kebebasan dan pembebasan bagi bangsa West Papua.

Beberapa waktu lalu saya menuliskan dalam tulisan saya mengenai kritik terhadap saudara Natalius Pigai, anggota Komnas HAM yang mereatifikasi dan menolak dengan tegas aturan Eksekusi Mati oleh Presiden Jokowi. Dengan stegmen dalam akun "Facebook" pribadinya ia menuliskan “Hidup dan Mati adalah Kehendak Allah bukan Kehendak manusia...” dan “Tuhan Allah Saja Mengampuni dosa dan mengasihani Manusia yang bertobat.....” (baca disini: http://nyamukkeraspapua.blogspot.com/2015/03/catatan-penting-untuk-saudara-natalius.html )

Secara mendasar saya membenarkan apa yang sudah disampaikan, karena doktrin agama mungkin terlalu kelebihan atau bagaimana saya tidak tahu persisnya seperti apa. Suatu kejelasan besar yang perlu untuk kita pahami adalah apa yang akan kita dapatkan dan apa yang kita lakukan bagi bangsa West Papua demi pembebasan dan kemerdekaan setelah Eksekusi Mati itu langsung di tentukan kapan harus dieksekusi?

Situais politik Papua Merdeka saat ini tidak seperti apa yang kita pikirkan dan kita bayangkan saat ini. Sebuah wadah persatuan melalui The United Liberation Movement for West Papua  (ULMWP) sudah sangatlah mendasar, garis perjuangan yang kita cita-citakan bersama yang hampir memakan korban 500.000 lebih pembunuhan secara masalh oleh pemerintah Indonesia sendiri sudah ada di depan kita.

Untuk kritik mengenai hukuman mati tersebut oleh Komnas HAM sudah sebatas demikian. Saya tidak tahu, mungkin Komnas HAM menjalankan amanah negara atau apa, itu kembali ke pribadinya. Dia bangsa Papua yang merasa dijajah oleh Indonesia atau tidak itu terserah.

Sekarang kita melihat situasi saat ini, berita baru keluar lagi melalui media Papua,majalahselangkah.com edisi 15 Februari 2015, mengenai Solidaritas Perempuan Melanesia Papa Barat di Manokwari mendesak Presiden Indonesia, Joko Widodo untuk hapuskan Undang-undang Hukuman Mati di Indonesia. Pihaknya menilai manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia. Hanya Tuhanlah yang punya hak sebagai pencipta.

Saya makin lama-makin tambah bingung dengan kondisi saat ini, yang secara periodik mingguan semakin tambah tidak jelas. Secara sistematis, Penolakan kita terhadap Presiden Jokowi mampu memperbesar hubungan diplomasi yang terbangun antara negara Indonesia dan Australia, coba kita berpikir kembali setelah kasus penyadapan oleh negara Australia kepada Indonesia melalui mantan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu lalu. Secara terus menerus, dendam akan sangat meningkat antara Indonesia dan Australia untuk hari ini.

Kebenaran yang mendasar kita perlu memahami kembali. Stegmen yang dikeluarkan oleh Jubir ULMWP, Benny Wenda beberapa waktu lalu melalui radio.co.zo, bahwa, bangsa Papua haruslah hanya turut berbelasungkawa bukan menolak adanya hukman mati tersebut. Kita sadar, pembunuhan mati oleh pemerintah Indonesia sudah hal yang biasa, hampir lebih 500.000 orang West Papua dibunuh secara semena-mena melalui militer Indonesia mulai dari Papua integrasi dengan Indonesia hingga sampai saat ini.

Dengan melihat adanya hubungan Diplomasi antara Indonesia dan Australia semakin hancur dengan pertimbangan hukuman mati harus diselenggarakan, menambah satu nilai positif bagi diplomasi pembebasan West Papua melalui ULMWP dengan melihat hubungan antara Indonesia dan Australia yang semakin hancur.

Bukan dengan begitu, peluang besar, bangsa West Papua melalui ULMWP bisa memanfaatkan momen penting dalam menegakan perasaan di PBB yang mungkin juga bisa di tambahkan oleh negara Australia, dengan keturutan bangsa Papua yang juga ikut berbelasungkawa atas tembak matinya warga negara Australia tersebut.

Sekarang fokus kita saat ini adalah, Papua harus benar-benar tidak terlibat dalam garis apa pun, walau pun itu aturan yang di buat Pemerintah Indonesia mengenai Eksekusi Mati tersebut. Kita tunggu reaksi yang akan terjadi antara Indonesia terhadap kondisi yang sudah ada.

Penulis adalah mahasiswa dan aktivis, kuliah di Numbay, West Papua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar