Sabtu, 28 Februari 2015

Pengantar Memahami Das Kapital [Bagian II]

Karl Marx/ Foto: Ist
Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono

MANUSIA DAN KERJA
“Orang hidup harus makan, yang dimakan haruslah hasil dari kerja orang yang memakannya, kalau tidak kerja tidak makan, dan kalau tidak makan pasti mampus!” rentetan kalimat tersebut merefleksikan betapa antara makan (baca: memenuhi kebutuhan hidup) dan kerja (aksi mengubah alam untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup) merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat dan tidak terpisahkan antara satu sama lain. Jadi, intinya orang yang bekerjalah yang berhak untuk menikmati hasil kerjanya. Bagaimana halnya apabila orang mau menikmati/memakan hasil kerja orang lain, tetapi dia sendiri tidak bekerja? Wah, ini namanya perampokan! Orang-orang model kayak gini, dalam literatur Marxist, adalah orang-orang yang tergolong manusia yang ga beres, orang yang doyan menindas orang lain dengan cara menghisap hasil kerja orang lain. Inilah drakula sesungguhnya dalam dunia manusia. Dan keberadaan mereka secara nyata di dalam kehidupan manusia adalah bukti bahwa drakula tidak hanya sekadar mitos, tetapi merupakan kenyataan yang sangat nyata—Awas! ada hantu “Drakula,” ditengah-tengah kehidupan Anda, hantu Kapitalisme…!!!—
Ulasan dalam tulisan ini akan menjelujuri bagaimana mungkin orang yang tidak bekerja dapat menikmati hasil kerja orang lain, dan justru orang yang bekerja tidak dapat menikmati hasil kerjanya, terasing (teralienasi) dari hasil kerjanya sendiri, dan teralienasi dengan sesamanya. Oke Mas-Bro dan Mbak-Miss, penulis akan memulai mengulasnya dengan terlebih dahulu memaparkan tentang hubungan antara manusia dan kerja.

Pembunuhan Theys: Antara Kepentingan dan Arus Pergantian Pemimpin Indonesia 2014 [Bagian 1]

Theys Hiyo Eluai/ Foto:Ist
Oleh: Andhy Pekey

Pada awalnya untuk menuliskan tulisan ini sedikit kontraversi antara apa yang ingin saya tuliskan dan bagaimana kepentingan belaka dari kaum elit pusat terutama jakarta yang mencoba untuk menghancurkan tuang gerak orang Papua pada saat itu.

Tapi setelah banyak pertimbangan dan kesetaraan untuk menghubungkan antara kepentingan dan partai politik dari pembunuhan tersebut, secara struktural dan fungsional kepentingan menjadi aktor dari pembunuhan tokoh karismatik bangsa Papua 13 tahun yang lalu.

Tiga belas tahun yang lalu, tepatnya 10 November 2001, pukul 10.30 Waktu Papua (WP), Komandan Satgas Tribuana (Kopassus) Kol. Inf. Hartomo datang  menjemput Theys Hiyo Eluay, pemimpin besar Papua, di rumahnya. Berselang setengah jam kemudian, Theys Hiyo Eluay berangkat dari rumah menuju Hotel Matoa untuk mengikuti rapat Presidium Dewan Papua. 

Namun pemimpin besar Papua ini tak pernah pulang ke rumahnya di Sentani. Esok harinya, 11 November 2001, Theys Hiyo Eluay ditemukan sudah tak bernyawa dalam mobilnya di KM 9, Koya, Muara Tami, Jayapura. Tubuh Theys dalam posisi duduk terletang dan kedua kakinya memanjang ke depan. Di bagian pusat perutnya ada bekas goresan merah lembab. Tak ada yang menyangkal, Theys meninggal karena dibunuh (dilansir dari tabloidjubi.com edisi 10 November 2014).

Jumat, 27 Februari 2015

Pengantar Untuk Memahami Das Kapital [Bagian I]

Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono
Karl Marx/ Foto: IST

KOMODITI

Untuk megawali ulasan tentang Das Kapital perlu kiranya untuk memahami pengertian komoditi karena komiditi adalah titik sentral dari ulasan Marx tentang bekerjanya kapital di tangan para kapitalis. Dalam pandangan Marx komoditi adalah segala sesuatu (biasanya berupa barang dan jasa) yang diproduksi oleh manusia untuk diperjual belikan. Jika seorang tukang kayu pergi ke hutan kemudian menebang kayu, dan kayu yang ditebangnya tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan dasar untuk membuat sebuah meja makan, dan dengan pengetahuan dan keterampilannya dibuatlah sebuah meja makan oleh si tukang kayu tersebut, misalnya. Ketika meja makan tersebut telah selesai dibuatnya dan apabila meja makan yang dibuatnya tersebut tidak dia gunakan untuk kepentingannya sendiri atau keluarganya tetapi untuk kepentingan dijual-belikan, maka meja makan tersebut adalah sebuah komoditi. Jadi, status untuk dijual-belikan itulah yang memberikan identitas sebagai komoditi kepada sebuah meja makan yang dibuat oleh si tukang kayu tersebut.
Satu contoh lagi, misalnya ada seorang petani yang mengolah sawahnya untuk ditanami padi. Setelah padi yang dia tanam tersebut telah menguning dan dipanennya. Padi yang dipanen oleh petani tersebut apabila dikonsumsinya sendiri bukanlah komoditi. Namun, jika padi yang dipanennya tersebut kemudian diperjual-belikan, maka pada saat itulah padi yang dipanennya itu menyandang identitas sebagai komoditi.

Kamis, 26 Februari 2015

Andai Aku Seorang Indonesia

Aku Papua/ Foto:Ist


Oleh: Topilus B. Tebai.

Alangkah senangnya hati ini, seandainya saya mendapat kesempatan dari Tuhan, sesaat saja, menjadi seorang Indonesia. Ya, andai saya menjadi orang Indonesia, dengan kulitnya yang sawo matang, dengan rambutnya yang lurus, dan berperilaku seperti bangsa Indonesia.

Maksud saya, menjadi orang Indonesia sejati, tidak memiliki percampuran darah, dan punya kedudukan terhormat dalam pemerintahan negara Indonesia.

Saya pasti akan bersorak sorai bila sampai pada bulan Agustus, dimana ketika hari yang kunanti-nantikan itu tiba,  tanggal 17 Agustus,  aku merayakan hari kemerdekaan bangsaku, Bangsa Indonesia.

Saya, bila menjadi orang Indonesia, akan dengan gembira memandang ke angkasa biru, tempat dimana akan kulihat sang Merah Putih berkibar. Dengan kagum, akan aku lihat bendera itu, dan akan kubanyangkan betapa para pejuang yang telah mendahuluiku berjuang demi kemerdekaan yang sedang kunikmati ini.

Di Papua ini, satu hal yang membuatku paling bangga sebagai bangsa Indonesia adalah ketika bangsa Papua pribumi, mereka ikut pula bersama kami, merayakan hari ulang tahun kemerdekaan kami.

Kapitalis yang Meluas, Siapa Salah?

Oleh: Victor Mayor

”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri,” Pdt. I.S. Kijne pada 25 Oktober 1925 di Wasior-Manokwari.

Tulisan ini sebuah refleksi dan kritik kepada semua elemen pemerintah Papua dari berbagai segi kehidupan. Mungkin terlalu dini kalau saya bilang seperti itu, tetapi entahlah, memang kondisi masyarakat Papua sedang terjepit dan dijajah oleh bangsa asing yang mau menghancurkan kehidupan orang asli Papua.

Sebenarnya tulisan ini mengritik kebijakan pemerintah provinsi Papua dalam hal ini seluruh bupati dan kepala-kepala dan kaki tangan Indonesia yang bergaya sama seperti raja di tanah Papua. Saya seorang masyarakat biasa yang tidak mempunyai apa-apa, tapi mudah-mudahan melalui tulisan ini rakyat sadar tentang hal ini dan perlu untuk melawan semua ketidakadilan yang terjadi di tanah Papua ini.

Rabu, 25 Februari 2015

Transformasi Agama dan Rekonsiliasi Konflik di Papua

Oleh: Fadhal Heger

Bermula dan berangkat dari persoalan konflik yang belum juga usai dengan sebuah perspektif yang berbeda dengan jalan perjuangan yang sudah ada dan mungkin menjadi sebuah pengantar yang bisa membantu kita untuk merekonsiliasi persoalan ini dengan cara yang berbeda, yaitu dengan mentransformasikan agama sebagai sebuah wadah api perlawanan berusaha meluruskan dan mengkritisi garis perjuangan ini dengan kaca mata yang berbeda.

Agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyelesaikan persoalan bangsa, tetapi bagaimana di tengah-tengah multi agama yang sudah terbangun di Papua itu menjadi sebuah wadah, biar tidak bias melihat persoalan dengan kaca mata yang sama. Peran gereja sangat dibutuhkan begitu juga peran umat beragama lainnya, seperti Hindu, Budha dan Islam yang merjalelah di Papua.