Selasa, 26 Januari 2016

Mie Instan dan Dialog


Oleh: Edwar Ramandei

Mie Instan. Itu makanan khas rakyat Indonesia. Makanan yang menjadi produksi konsumerisme utama rakyat Indonesia. Lihat saja, kalau anda makan di warung, wartek (istilah di bandung), atau pun di Burjo (istilah di Jogja), pasti makanan yang dikatakan 'enak', tak lain adalah Mie Instan. 

Mie Instan itu sudah terpopuler di seluruh dunia. Paling menonjol adalah di China. Tak heran, Cina dan Indonesia sama-sama negeri yang bentuk dan rasanya sama seperti Mie Instan.

Perlu anda ketahui bahwa Mie Instan adalah makanan kemasan yang hanya dalan 5 menit saja siap untuk di saji. 


Pasti anda sudah berpengalaman ketika masuk ke warung, wartek atau ke burjo. Anda masuk dan coba pesan Mie Instan.

Tidak menunggu hari, tidak menunggu jam, tidak menunggu waktu panjang lebar, hanya dalan lima menit, anda siap menyantapnya.

Tetapi catatan, bahwa efek jerah paling terbesar pada tubuh ketika anda hanya mengonsumsinya selama seminggu berturut-turut, anda akan terinfeksi sakit yang luar biasa. Terutama anda akan cepat lupa, anda akan terkena penyakit usus dan lambung.

Dan itu sudah banyak dan sering terjadi di negeri yang bentuk dan rasanya sama seperti Mie Instan. 
Untuk Mie Instan, cukup sampai disini. Sekarang dialog.

Nah, dialog. Yang ada dalam pikiran saya, dialog itu kedua belah pihak yang berunding karena keduanya tak mau kalah dengan apa yang sedang dipikirkan, apa yang sedang dilakukan, dan apa yang sedang dia perjuangnan. Interaksi tersebut bisa jadi, terjadi secara individu maupun kelompok.

Dialog merujuk terjadi karena ada sebuah 'masalah'. Entah masalah apa pun itu. Dan masalah tersebut diselesaikan secara dialog. 

Tetapi catatannya, dialog itu terkadang menghasilkan keputusan yang asal jadi. Asal jadi yang saya maksudkan itu, dialog yang dilakukan tanpa memikirkan situasi dan kondisi masyarakatnya sendiri hingga menghasilkan sebuah kesimpulan atau pemecahan masalah yang tak sesuai dengan arus perkembangan dan peradaban masyarakat setempat.

Kalau anda masih bertanya atau tak sepakat lagi, tentang kondisi masyarakat atas perkembangan dan peradabannya yang saya maksudkan, berarti, saya hanya bisa mengatakan dan bertanya, berapa banyak masyarakat yang siap untuk menjadi aktor dalam dialog? Apakah dialog itu akan menguntungkan si korban? Apakah aktor-aktor tersebut mampu memposisikan masyarakatnya dan memilih jalan pembebasan yang merakyat hingga akar rumput? Apakah dialog itu mampu menjawab kebutuhan si korban? Apakah dialog mampu sejajar dan dibuat sesuai dengan perkembangan dan peradaban masyarakat setempat?


Tak hanya itu, dialog itu bisa saja sebuah perundingan kepentingan, ketika si korban atau si pelaku sendiri menawarkan diri untuk didialogkan tanpa melihat situasi dunia saat ini.

Saya pikir kedua penjelasan singkat antara Mie Instan dan Dialog, cukup anda ketahui. Mungkin anda lebih memahami dibandingkan saya. Toh, semua orang maunya jadi guru. Ada yang mau jadi guru Mie Instan dan guru Dialog.

Sekarang bagaimana sinonimi antara Mie Instan dan Dialog? 

Yang ada dalam pikiran saya, dialog itu sama sepeti Mie Instan. Anda coba berpikir lebih reflektif secara historis dan dialektis. Kalau Mie Instan, anda dapat menyantapnya hanya dalam lima menit, tetapi efek jerahnya berbahaya untuk diri anda. Kalau dialog, perundingan yang dilakukan secara cepat dan mampu menghasilkan keputusan, entah keputusan itu baik atau tidak tanpa mempertimbangkan proses perkembangan masyarakat, dimana masyarakat itu diarahkan secara ideologis yang rekonstruktif. 

Mie Instan dan Dialog tak ada duanya, sama-sama merujuk pada hasil yang dicapai, tetapi hasilnya tetap akan mengorbankan pihak yang mengunsumsi atau yang terlibat dalam dialog.
Sebuah revolusi itu yang menentukan masa depan itu bukan karena hasil kesepakatan dalam dialog atau perundingan yang instan, tetapi masyarakat terdidiklah yang mampu menentukan masa depan mereka. Mereja jugalah yang mampu mengukur kehidupan mereka sendiri, bukan seperti Mie Instan yang dibuat secara cepat tetapi efek jerahnya parah bagi pengonsumsinya.

Penulis adalah dosen di Universitas Terminal Entrop, Jayapura, West Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar