Oleh: Decky
Yaboisembut
Papua Island / Foto: Ist |
Saya beberapa hari ini membaca bukunya saudara Natalius
Pigai tentang “Evolusi
Nasionalisme dan Sejarah Konflik Papua” dan berdiskusi tengan
teman-teman. Saya adalah seorang mahasiswa dan aktivis Papua Merdeka yang
setiap harinya turun di jalan dan melakukan aksi damai. Dalam buku ini saya dan
teman-teman saya sering berdiskusi poin-poin inti yang saudara Natalius
utarakan dalam analisis kritisnya mengenai Papua.
Sekarang kenapa saya menuliskan catatan ini kepada saudara
Natalius Pigai sebagai anggota Komnas HAM yang hampir setiap hari
mengomel-ngomel terkait masalah di atas masalah di Indonesia? Saya kadang heran
dengan stegmen dan kebijakan yang diambilnya, saya bukan tukan ramal dan bukan
tukan melihan sesuatu berdasarkan keinginan saya tetapi ini realita dan
kenyataan Papua saat ini.
Beberapa waktu lalu selesai berdiskusi buku saudara
Natalius, dan melihat apa-apa saja yang sering ia buat selama menjadi Komnas
HAM kami sering mengapresiasinya, mulai dari kebijakan yang dikeluarkan dalam
menangani kasus di Batam hingga kasus penembakan 5 warga sipil di Paniai. Saya
mengapresiasi kebijakan yang ia telah buat, walau pun masalahnya belum selesai
dan masih berproses.
Sekarang bagaimana dengan maksud dan tulisan ini di angkat? Setelah
mendengar dan dari pembacaan situasi, terkait “Tembak Mati” warga Negara asing,
saya sedikit bingung dan kadang berpikir bahwa kedua warga Negara Australia
adalah peluang untuk orang Papua menunjukan watak Indonesia yang kelam dan
kejaman terhadap bangsa Papua.
Yang mengherankan adalah saudara Natalius malah membela
kebijakan kebijakan pribadi dan menolak tegas kebijakannya presiden Jokowi
terkait “Tembak Mati” tersebut. Dan dalam dinding akun “Facebook” pribadinya ia
menuliskan “Hidup
dan Mati adalah Kehendak Allah bukan Kehendak manusia...” dan “Tuhan
Allah Saja Mengampuni dosa dan mengasihani Manusia yang bertobat.....”
Saya
heran dengan stegmennya tersebut, dalam bukunya ia sudah utarakan panjang lebar
mengenai pelanggaran HAM yang dibuat pemerintah Indonesia terhadap orang asli
Papua pada waktu pembantaian dulu dan jelas, arah dari buku tersebut. Saya bukan
tukan pengkritik tapi ini sudah jelas kebijakannya yang seperti ini. Kita tidak
bisa hitung, korban pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, apa lagi ini warga Negara
asing yang mau di “Tembak Mati” oleh pemerintah Indonesia.
Saya
heran juga dengan stegmen yang dikeluarkan terkait Integratif oleh saudara
Natalius, "Saya ingin bertanya mengapa harus ada kata integratif, jika
sistem pertahanan integratif bisa dimaklumi tetapi bagaimana keamanan juga
integratif?" kata Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, beberapa saat
lalu (Kamis, 26/2) seperti dilansir dari rmol.co
edisi 26 Februari 2015. Dan juga stegmennya, "Sebagai komisioner Komnas HAM
ingin menegaskan bahwa kebijakan ini diduga
akan munculkan sistem otoritarianisme dan militeristik seperti yang kita
mengalami situasi traumatik pada Orde Baru."
Bagi
orang Papua ini tidak berguna, ini hanya menambah integrasi yang akan terus
menerus memicu adanya konflik vertikal dan horisontal di kalangan orang Papua. Revolusi
itu akan lahir kalau nasionalisme itu menjadi bertambah dan menjadi tujuan
orang asli Papua yang merindukan kebebasan dan kemerdekaan yang abadi. Sikap
apatis melanggar perkataan dalam karya-karyanya akan memicu watak aslinya
sebagai kaki tangan pemerintah Indonesia.
Arah
dari tulisan pendek ini adalah melihat kondisi dan situasi pergolakan Papua
Merdeka yang semakin hari kian memanas. Dan kalau warga Negara Australia yang
menjadi sasaran penembakan akan berdampak positif kepada orang Papua dan
diplomasi perjuangan.
Soekarno
pada 1945, ia mendeklarasikan kemerdekaannya adalah kepintarannya dia melihat
situasi Internasional Asia-Eropa yang semakin bergolak dengan perang dingin
pada saat itu. Kita bisa belajar dari apa yang sudah dibuat Soekarno pada saat
itu, seharusnya saudara Natalius tahu persis jalan diplomasi perjuangan orang
Papua yang berkepanjangan hingga sampai saat ini.
Saya
sangat apresiasi kepada saudara Octovianus Mote, secara pribadi dia mendukung
kalau Prabowo Subianto yang jadi Presiden pada waktu pemilihan lalu. Karena Prabowo
memiliki utang dan dendam terhadap pemerintah Indonesia pada saat itu, melihat pemecatannya
dari TNI. Dengan kaca mata terbalik kita bisa mengkritisi kebijakan, bukan
seperti Jokowi yang kayak “Tikus” yang selalu diarahkan oleh orang-orang yang
tidak berperi kemanusia. Kemenangan Jokowi jadi Presiden juga didasarkan karena
Media dan Blusukan munafiknya yang melantarkan dia menjadi Presiden.
Saya
sewaktu berdiskusi dengan teman-teman saya, kami menemukan titik-titik yang
bisa menghubungkan atau benag merah yang menghubungkan “Tembak Mati” oleh
pemerintah Indonesia dengan jalan Diplomasi perjuangan Papua Merdeka yang kita
perjuangkan bersama-sama.
Sekarang
posisi Negara Australia menjadi ancaman dengan kedua warga negaranya yang akan
ditembak mati di Bali Nine beberapa waktu ke depan. Australia adalah sebuah Negara
yang bertetangga dengan PNG dan West
Papua. Melihat jalan diplomasi, pengakuan akan lahir dengan Negara tetangga
yang bisa dijadikan alat untuk perjuangan melalui MSG maupun pengakuan di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Saya
mengakui seorang Anggota Komnas HAM berkewajiban untuk meluruskan apa yang
menjadi kewajiban, tetapi terkait dengan “Tembak Mati”, saya pikir saudara
Natalius harus mengambil sikap yang membawa dampak positif untuk bangsa Papua.
Kasus
penyadapan oleh warga Negara Australia kepada presiden Susilo Bambang Yodoyono
pada waktu tahun 2013 lalu, menjadi sebuah dendam moral dan politik tersembunyi
dan itu yang mungkin dibalas dengan “Tembak Mati” dua warga Negara Australia
tersebut. Situasi bergolak dengan berjalannya suara keras dan lantang
perjuangan Papua di luar negeri maupun dalam negeri.
Satu
catatan penting yang harus kita simak adalah, Papua bergolak dan bebas, berarti
Indonesia bubar, karena ekonomi politik Indonesia, Indonesia diberikan makan
setiap hari oleh Papua melalui kekayaan alam Papua. Bukan saja Indonesia,
Amerika sebagai Negara imperialis akan hancur kalau Papua bebas dab berdiri di
atas tanahnya sendiri.
Karena
Papua adalah jantung dunia.
Penulis adalah
mahasiswa dan aktivis, kuliah di Numbay,
West Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar