Senin, 02 Maret 2015

Catatan Penting untuk Saudara Natalius Pigai Tentang “Tembak Mati”

Oleh: Decky Yaboisembut

Papua Island / Foto: Ist
Saya beberapa hari ini membaca bukunya saudara Natalius Pigai tentang “Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Papua” dan berdiskusi tengan teman-teman. Saya adalah seorang mahasiswa dan aktivis Papua Merdeka yang setiap harinya turun di jalan dan melakukan aksi damai. Dalam buku ini saya dan teman-teman saya sering berdiskusi poin-poin inti yang saudara Natalius utarakan dalam analisis kritisnya mengenai Papua.

Sekarang kenapa saya menuliskan catatan ini kepada saudara Natalius Pigai sebagai anggota Komnas HAM yang hampir setiap hari mengomel-ngomel terkait masalah di atas masalah di Indonesia? Saya kadang heran dengan stegmen dan kebijakan yang diambilnya, saya bukan tukan ramal dan bukan tukan melihan sesuatu berdasarkan keinginan saya tetapi ini realita dan kenyataan Papua saat ini.
Beberapa waktu lalu selesai berdiskusi buku saudara Natalius, dan melihat apa-apa saja yang sering ia buat selama menjadi Komnas HAM kami sering mengapresiasinya, mulai dari kebijakan yang dikeluarkan dalam menangani kasus di Batam hingga kasus penembakan 5 warga sipil di Paniai. Saya mengapresiasi kebijakan yang ia telah buat, walau pun masalahnya belum selesai dan masih berproses.


Sekarang bagaimana dengan maksud dan tulisan ini di angkat? Setelah mendengar dan dari pembacaan situasi, terkait “Tembak Mati” warga Negara asing, saya sedikit bingung dan kadang berpikir bahwa kedua warga Negara Australia adalah peluang untuk orang Papua menunjukan watak Indonesia yang kelam dan kejaman terhadap bangsa Papua.

Yang mengherankan adalah saudara Natalius malah membela kebijakan kebijakan pribadi dan menolak tegas kebijakannya presiden Jokowi terkait “Tembak Mati” tersebut. Dan dalam dinding akun “Facebook” pribadinya ia menuliskan “Hidup dan Mati adalah Kehendak Allah bukan Kehendak manusia...” dan “Tuhan Allah Saja Mengampuni dosa dan mengasihani Manusia yang bertobat.....”

Saya heran dengan stegmennya tersebut, dalam bukunya ia sudah utarakan panjang lebar mengenai pelanggaran HAM yang dibuat pemerintah Indonesia terhadap orang asli Papua pada waktu pembantaian dulu dan jelas, arah dari buku tersebut. Saya bukan tukan pengkritik tapi ini sudah jelas kebijakannya yang seperti ini. Kita tidak bisa hitung, korban pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, apa lagi ini warga Negara asing yang mau di “Tembak Mati” oleh pemerintah Indonesia.
Saya heran juga dengan stegmen yang dikeluarkan terkait Integratif oleh saudara Natalius, "Saya ingin bertanya mengapa harus ada kata integratif, jika sistem pertahanan integratif bisa dimaklumi tetapi bagaimana keamanan juga integratif?" kata Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, beberapa saat lalu (Kamis, 26/2) seperti dilansir dari rmol.co edisi 26 Februari 2015. Dan juga stegmennya, "Sebagai komisioner Komnas HAM ingin menegaskan bahwa kebijakan ini diduga  akan munculkan sistem otoritarianisme dan militeristik seperti yang kita mengalami situasi traumatik pada Orde Baru."

Bagi orang Papua ini tidak berguna, ini hanya menambah integrasi yang akan terus menerus memicu adanya konflik vertikal dan horisontal di kalangan orang Papua. Revolusi itu akan lahir kalau nasionalisme itu menjadi bertambah dan menjadi tujuan orang asli Papua yang merindukan kebebasan dan kemerdekaan yang abadi. Sikap apatis melanggar perkataan dalam karya-karyanya akan memicu watak aslinya sebagai kaki tangan pemerintah Indonesia.

Arah dari tulisan pendek ini adalah melihat kondisi dan situasi pergolakan Papua Merdeka yang semakin hari kian memanas. Dan kalau warga Negara Australia yang menjadi sasaran penembakan akan berdampak positif kepada orang Papua dan diplomasi perjuangan.

Soekarno pada 1945, ia mendeklarasikan kemerdekaannya adalah kepintarannya dia melihat situasi Internasional Asia-Eropa yang semakin bergolak dengan perang dingin pada saat itu. Kita bisa belajar dari apa yang sudah dibuat Soekarno pada saat itu, seharusnya saudara Natalius tahu persis jalan diplomasi perjuangan orang Papua yang berkepanjangan hingga sampai saat ini.

Saya sangat apresiasi kepada saudara Octovianus Mote, secara pribadi dia mendukung kalau Prabowo Subianto yang jadi Presiden pada waktu pemilihan lalu. Karena Prabowo memiliki utang dan dendam terhadap pemerintah Indonesia pada saat itu, melihat pemecatannya dari TNI. Dengan kaca mata terbalik kita bisa mengkritisi kebijakan, bukan seperti Jokowi yang kayak “Tikus” yang selalu diarahkan oleh orang-orang yang tidak berperi kemanusia. Kemenangan Jokowi jadi Presiden juga didasarkan karena Media dan Blusukan munafiknya yang melantarkan dia menjadi Presiden.

Saya sewaktu berdiskusi dengan teman-teman saya, kami menemukan titik-titik yang bisa menghubungkan atau benag merah yang menghubungkan “Tembak Mati” oleh pemerintah Indonesia dengan jalan Diplomasi perjuangan Papua Merdeka yang kita perjuangkan bersama-sama.

Sekarang posisi Negara Australia menjadi ancaman dengan kedua warga negaranya yang akan ditembak mati di Bali Nine beberapa waktu ke depan. Australia adalah sebuah Negara yang bertetangga dengan PNG dan West Papua. Melihat jalan diplomasi, pengakuan akan lahir dengan Negara tetangga yang bisa dijadikan alat untuk perjuangan melalui MSG maupun pengakuan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Saya mengakui seorang Anggota Komnas HAM berkewajiban untuk meluruskan apa yang menjadi kewajiban, tetapi terkait dengan “Tembak Mati”, saya pikir saudara Natalius harus mengambil sikap yang membawa dampak positif untuk bangsa Papua.

Kasus penyadapan oleh warga Negara Australia kepada presiden Susilo Bambang Yodoyono pada waktu tahun 2013 lalu, menjadi sebuah dendam moral dan politik tersembunyi dan itu yang mungkin dibalas dengan “Tembak Mati” dua warga Negara Australia tersebut. Situasi bergolak dengan berjalannya suara keras dan lantang perjuangan Papua di luar negeri maupun dalam negeri.

Satu catatan penting yang harus kita simak adalah, Papua bergolak dan bebas, berarti Indonesia bubar, karena ekonomi politik Indonesia, Indonesia diberikan makan setiap hari oleh Papua melalui kekayaan alam Papua. Bukan saja Indonesia, Amerika sebagai Negara imperialis akan hancur kalau Papua bebas dab berdiri di atas tanahnya sendiri.

Karena Papua adalah jantung dunia.


Penulis adalah mahasiswa dan aktivis, kuliah di Numbay, West Papua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar