Sabtu, 28 Februari 2015

Pengantar Memahami Das Kapital [Bagian II]

Karl Marx/ Foto: Ist
Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono

MANUSIA DAN KERJA
“Orang hidup harus makan, yang dimakan haruslah hasil dari kerja orang yang memakannya, kalau tidak kerja tidak makan, dan kalau tidak makan pasti mampus!” rentetan kalimat tersebut merefleksikan betapa antara makan (baca: memenuhi kebutuhan hidup) dan kerja (aksi mengubah alam untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup) merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat dan tidak terpisahkan antara satu sama lain. Jadi, intinya orang yang bekerjalah yang berhak untuk menikmati hasil kerjanya. Bagaimana halnya apabila orang mau menikmati/memakan hasil kerja orang lain, tetapi dia sendiri tidak bekerja? Wah, ini namanya perampokan! Orang-orang model kayak gini, dalam literatur Marxist, adalah orang-orang yang tergolong manusia yang ga beres, orang yang doyan menindas orang lain dengan cara menghisap hasil kerja orang lain. Inilah drakula sesungguhnya dalam dunia manusia. Dan keberadaan mereka secara nyata di dalam kehidupan manusia adalah bukti bahwa drakula tidak hanya sekadar mitos, tetapi merupakan kenyataan yang sangat nyata—Awas! ada hantu “Drakula,” ditengah-tengah kehidupan Anda, hantu Kapitalisme…!!!—
Ulasan dalam tulisan ini akan menjelujuri bagaimana mungkin orang yang tidak bekerja dapat menikmati hasil kerja orang lain, dan justru orang yang bekerja tidak dapat menikmati hasil kerjanya, terasing (teralienasi) dari hasil kerjanya sendiri, dan teralienasi dengan sesamanya. Oke Mas-Bro dan Mbak-Miss, penulis akan memulai mengulasnya dengan terlebih dahulu memaparkan tentang hubungan antara manusia dan kerja.

Mari kita sodorkan bersama sebuah pertanyaan seperti ini, “mengapa manusia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan binatang tidak?” Penulis akan menjawab pertanyaan ini dengan rentetan kalimat sebagai berikut: Walau pun antara binatang dan manusia memiliki jurang perbedaan yang sangat lebar-menganga, namun ada hal yang sama antara binatang dan manusia, yakni sama-sama membutuhkan makan. Namun demikian, walau pun binatang dan manusia sama-sama membutuhkan makan, ada perbedaan antara binatang dan manusia dalam cara memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana letak perbedaannya tersebut? Perbedaannya terletak di sini: Jika binatang membutuhkan makan, maka alam telah menyediakannya secara instan, binatang tinggal merenggutnya dari alam. Misalnya, apabila sekawanan kerbau liar membutuhkan rumput untuk dimakannya, kawanan tersebut tinggal mendatangi padang rumput dan kemudian memakannya bersama-sama, alam telah menyediakannya. Misalnya lagi, apabila ada segerombolan burung pipit yang membutuhkan makanan, gerombolan burung pipit itu tinggal mendatangi area tetumbuhan padi dan kemudian memakan biji-bijian yang ditumbuhkan oleh tetumbuhan padi tersebut, alam telah menyediakannya. Satu lagi contoh, apabila ada seekor lebah yang membutuhkan makanan (madu), dia tinggal mencari bunga-bunga yang sedang mekar [dengan warna yang sangat luar biasa indahnya ketika di pandangi oleh biji mata manusia pencinta keindahan, dan kemudian setelah si kumbang menemukan bunga-bunga itu] kemudian dia akan menghisap madunya, alam telah menyediakannya secara instan. Bagaimana dengan manusia? Ketika manusia membutuhkan sesuatu untuk dikonsumsinya, alam memang menyediakan berbagai hal yang dibutuhkan oleh manusia, namun alam tidak menyediakannya secara instan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia harus mengambil bahan mentah yang disediakan oleh alam, mengolahnya sesuai dengan kebutuhannya dan kemudian setelah itu mengkonsumsinya. Proses pengolahan dari bahan mentah yang disediakan oleh alam tersebut menjadi bahan yang siap untuk dikonsumsi manusia inilah yang dinamakan dengan kerja. Dan hal inilah yang membedakan antara binatang dan manusia: Jika binatang tidak perlu kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan manusia mutlak harus bekerja.
Ketika manusia bekerja sebenarnya manusia mengambil bentuknya yang alami dari alam dan kemudian mengubahnya menurut citra yang ada di dalam batok kepala (otak/kecerdasan) si manusia yang mengubahnya, misalnya jika pembaca adalah seorang pembuat meja, pembaca akan mengambil kayu dari alam (dari hutan misalnya) dan dari kayu tersebutlah pembaca akan membuat meja, ketika pembaca sedang memproses kayu tersebut menjadi sebuah meja seketika itulah sesungguhnya pembaca sedang mengubah sesuatu yang alami menjadi sesuatu yang sesuai dengan citra yang ada dalam pikiran pembaca. Sama seperti halnya penulis ketika sedang menuliskan naskah (note ala facebook) ini untuk pembaca, sebelum menuliskan naskah ini penulis telah mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan tema naskah ini (baca: merenggut hal yang alami dari alam), setelah penulis mengolah berbagai bahan bacaan (literatur) di dalam batok kepala penulis, baru kemudian penulis menuangkannya ke dalam bentuk tulisan yang saat ini sedang dinikmati oleh pembaca. Berangkat dari sini dapatlah dikatakan bahwa proses kreatif adalah inti dari aktivitas kerja manusia. Tanpa kreativitas tidak ada apa pun yang dapat dikerjakan oleh manusia.
Secara umum orang menyepakati bahwa manusia memiliki kebutuhan hidup yang beragam atau sangat banyak sekali. Dan oleh karena itulah, maka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan satu produk dari hasil kerja manusia tetapi manusia membutuhkan banyak produk hasil kerja manusia-manusia lainnya. Dan berangkat dari sinilah, maka manusia hanya dapat hidup dengan manusia lainnya apabila dia ingin memenuhi segala bentuk kebutuhan hidupnya. Sementara itu, secara psikologis, orang akan senang sekali apabila hasil kerjanya dinikmati oleh orang lain, begitu juga sebaliknya. Dan seandainya saja sistem kemasyarakat-manusia mengizinkan, orang akan lebih senang memberikan hasil kerjanya untuk dinikmati orang lain tanpa pamrih—tanpa imbalan apapun, kecuali cinta. Seorang tukang pembuat meja butuh makan, dan hal ini dipenuhi oleh seorang petani, seorang petani butuh meja dan hal ini dipenuhi oleh orang yang membuat meja, seorang tukang pembuat meja dan petani membutuhkan buku untuk dibacanya—agar lebih terampil dan pikirannya lebih kritis—maka dipenuhilah kebutuhan mereka oleh seorang penulis, dan seorang penulis membutuhkan meja dan makan, kebutuhan penulis ini dipenuhi oleh si pembuat meja dan petani, pembuat meja, petani, dan penulis membutuhkan panci untuk memasak, maka kebutuhan ini dipenuhi oleh si pembuat panci, si pembuat panci membutuhkan meja, makanan, dan bahan bacaan, maka dipenuhilah kebutuhan dari si tukang panci ini oleh si pembuat meja, petani, dan penulis…. untuk seterusnya silahkan pembaca mencari contoh-contoh konkret lanjutannya J
Telah penulis bacotkan di muka bahwa kebutuhan hidup manusia, dalam perkembangannya tidak hanya banyak sekalee, tetapi juga beragam. Nah, dari berbagai keragaman inilah kemudian melahirkan berbagai bentuk kreativitas manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberagaman kreativitas manusia itu telah melahirkan bangunan peradaban manusia sampai dengan saat ini.
Berangkat dari apa yang penulis sampaikan tersebut, maka tidak berlebihanlah kiranya apabila dikatakan bahwa peradaban manusia sampai dengan saat ini sebenarnya merupakan bangunan dari hasil kerja dari generasi-generasi sebelumnya (sawah-sawah yang menghampar luas, bangunan-bangunan peninggalan zaman dahulu, dan berbagai peninggalan hasil kerja lainnya dari generasi-generasi sebelumnya), dimana orang yang satu berdiri di atas pundak yang lain, dan yang lain berdiri di atas pundak yang lainnya lagi, dan begitu seterusnya. Penulis tekankan sekali lagi, pada fitrahnya manusia adalah mahluk sosial yang hanya dapat hidup secara kolektif bukan “partikel bebas” yang hidup terisolasi dari lingkungan sosialnya sebagaimana diwacanakan oleh ideologi kapitalisme-individualis yang mengagungkan bahkan mendewakan kerakusan individu untuk memburu nafsu hedonisnya.
Sekadar catatan, Adam Smith, seorang Bapak kapitalis dunia, dalam teorinya menggariskan bahwa manusia pada hakekat adalah rakus (baca: lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang kepentingan orang lain), dan karena kerakusannya inilah, maka terjadilah peristiwa manusia satu dengan manusia lainnya saling bersaing untuk saling mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan untuk menghidupi instink kerakusannya. Namun demikian, menurut Adam Smith, justru karena terjadinya persaingan tersebut antara pihak satu dengan pihak lainnya akan saling mengendalikan kerakusannya, karena apabila ada salah satu pihak saja yang tidak bisa mengendalikan nafsu rakusnya, maka akan hancur berkeping-kepinglah dia. Oke, untuk lebih jelasnya persaingan yang menyeret orang untuk mengendalikan kerakusannya dapat penulis contohkan secara konkret seperti ini: “si kapitalis demi untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya merumuskan prinsip TANAM MODAL SEKECIL MUNGKIN, SIKAT (RAUP/DAPATKAN) KEUNTUNGAN SEBESAR MUNGKIN. Berangkat dari prinsip inilah kemudian si kapitalis akan menjual produk (komoditi) dari buruh yang dipekerjakannya dengan harga yang seenak udelnya sendiri (walau pun udel itu ga enak, yang enak itu sesuatu yang ada di bawah udel—ga hanya enak tapi sedap, nikmat dunia yang tiada tara he..he..he…) atau semau-maunya. Atau dengan kata lain si kapitalis akan menjual komoditi tersebut dengan harga yang semahal-mahalnya. Untuk menjual komoditi dengan harga yang semahal-mahalnya ini bisa saja terjadi apabila si kapitalis memonopoli penjualan komoditi tertentu, tetapi dia tidak akan melakukan hal ini apabila ada pesaing lainnya yang menjual produk yang sama, artinya terjadi persaingan dalam aksi jual-beli di ranah pasar. Kenapa si kapitalis tidak bisa menjualnya dengan harga semahal-mahalnya? Jawabannya, karena apabila si kapitalis menjualnya dengan harga semahal-mahalnya, maka komoditi yang dijualnya tersebut tidak akan ada yang membelinya atau tidak laku. Loh kenapa koq bisa begitu? Karena pesaingnya menjual komoditi tersebut dengan harga yang lebih murah untuk menjatuhkan lawannya, dengan sambil tetap melakukan akumulasi kapital! Di sinilah kita dapat melihat KONTRADIKSI dalam pemasaran komoditi di ranah pasar kapitalis, di satu sisi si kapitalis ingin menjual harga semahal-mahalnya, namun di sisi lainnya dia tidak bisa melakukannya, karena kalau dia melakukannya dia akan bangkrut, gulung tikar, atau dihantam tanpa ampun oleh buasnya persaingan pasar. Kontradiksi yang terjadi di ranah pasar inilah, yang kemudian oleh Adam Smith diasumsikan sebagai sesuatu yang dapat menggiring orang untuk mengendalikan diri dari kerakusan, yang menurut Adam Smith, adalah fitrah sesungguhnya dari kepribadian manusia-individu.
Berangkat dari apa yang dibacotkan oleh Adam Smith tersebut, maka dapatlah ditarik garis perbedaan antara ideologi kapitalisme dan sosialisme. Jika kapitalisme berasumsi bahwa manusia itu sebenarnya individualis dan rakus, maka sosialisme secara tegas menolak hal itu. Dalam ideologi sosialisme secara tegas mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki empati untuk saling berbagi, bekerjasama, saling mengasihi antara satu sama lain, dan berusaha saling menumbuhan rasa solideritas yang kuat antar sesama tanpa diskriminasi. Cinta sejati adalah pondasi dari terbangunnya ideologi sosialisme.
Dengan tegas penulis berstatement bahwa kerja-kerja yang dilakukan oleh manusia sebenarnya mengandung elemen-elemen dari karekter dasar ideologi sosialisme, yakni semangat berbagi, kerjasama, saling mengasihi dan saling menumbuhkan rasa solideritas antar manusia satu dengan manusia lain. Namun, dalam tulisan ini akan pembaca saksikan betapa elemen-eleman ini dirusak oleh bekerjanya sistem kapitalisme yang mengagungkan bahkan mendewakan kerakusan individu sebagaimana yang telah penulis kemukakan.
Setelah penulis mengulas tentang hubungan manusia dengan kerja, ulasan berikutnya akan bergerak pada pemaparan tentang perampokan nilai lebih yang dilakukan oleh kelas kapitalis terhadap orang-orang yang dipekerjakannya sebagai buruh-buruh mereka.*** [Bersambung]

Tentang penulis:
Ismantoro Dwi Yuwono yang akrab dipanggil dengan nama Isman ini dilahirkan di Kota Yogyakarta pada kamis legi 16 Oktober 1976. Isman menyelesaikan studi ilmu hukumnya, pada 2001, di Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Aktif menulis buku dan berdiskusi.

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di tikusmerah.com dan menjelaskan secara singkat pengantar untuk memahami Das kapital oleh Karl Marx. Kami sadar bahwa tulisan ini dipost di blog ini tanpa izin penulis dan media tersebut, kami menyadari tulisan ini sangat bermanfaat untuk berbagi pengetahuan sesama orang Papua, untuk menyadari Das Kapital dan sebagai implementasi kehidupan manusia Papua hingga menyadari ekonomi orang Papua yang sesungguhnya.

#NyamukPapua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar