MANUSIA DAN KERJA
“Orang hidup harus makan, yang dimakan haruslah
hasil dari kerja orang yang memakannya, kalau tidak kerja tidak makan, dan
kalau tidak makan pasti mampus!” rentetan kalimat tersebut merefleksikan betapa
antara makan (baca: memenuhi kebutuhan hidup) dan kerja (aksi mengubah alam
untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup) merupakan dua hal yang saling
berhubungan sangat erat dan tidak terpisahkan antara satu sama lain. Jadi,
intinya orang yang bekerjalah yang berhak untuk menikmati hasil kerjanya.
Bagaimana halnya apabila orang mau menikmati/memakan hasil kerja orang lain,
tetapi dia sendiri tidak bekerja? Wah, ini namanya perampokan! Orang-orang
model kayak gini, dalam literatur Marxist, adalah orang-orang yang tergolong
manusia yang ga beres, orang yang doyan menindas orang lain dengan cara
menghisap hasil kerja orang lain. Inilah drakula sesungguhnya dalam dunia
manusia. Dan keberadaan mereka secara nyata di dalam kehidupan manusia adalah
bukti bahwa drakula tidak hanya sekadar mitos, tetapi merupakan kenyataan yang
sangat nyata—Awas! ada hantu “Drakula,” ditengah-tengah kehidupan Anda, hantu
Kapitalisme…!!!—
Ulasan dalam tulisan ini akan menjelujuri bagaimana
mungkin orang yang tidak bekerja dapat menikmati hasil kerja orang lain, dan
justru orang yang bekerja tidak dapat menikmati hasil kerjanya, terasing
(teralienasi) dari hasil kerjanya sendiri, dan teralienasi dengan sesamanya.
Oke Mas-Bro dan Mbak-Miss, penulis akan memulai mengulasnya dengan terlebih
dahulu memaparkan tentang hubungan antara manusia dan kerja.
Mari kita sodorkan bersama sebuah pertanyaan seperti ini, “mengapa manusia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan binatang tidak?” Penulis akan menjawab pertanyaan ini dengan rentetan kalimat sebagai berikut: Walau pun antara binatang dan manusia memiliki jurang perbedaan yang sangat lebar-menganga, namun ada hal yang sama antara binatang dan manusia, yakni sama-sama membutuhkan makan. Namun demikian, walau pun binatang dan manusia sama-sama membutuhkan makan, ada perbedaan antara binatang dan manusia dalam cara memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana letak perbedaannya tersebut? Perbedaannya terletak di sini: Jika binatang membutuhkan makan, maka alam telah menyediakannya secara instan, binatang tinggal merenggutnya dari alam. Misalnya, apabila sekawanan kerbau liar membutuhkan rumput untuk dimakannya, kawanan tersebut tinggal mendatangi padang rumput dan kemudian memakannya bersama-sama, alam telah menyediakannya. Misalnya lagi, apabila ada segerombolan burung pipit yang membutuhkan makanan, gerombolan burung pipit itu tinggal mendatangi area tetumbuhan padi dan kemudian memakan biji-bijian yang ditumbuhkan oleh tetumbuhan padi tersebut, alam telah menyediakannya. Satu lagi contoh, apabila ada seekor lebah yang membutuhkan makanan (madu), dia tinggal mencari bunga-bunga yang sedang mekar [dengan warna yang sangat luar biasa indahnya ketika di pandangi oleh biji mata manusia pencinta keindahan, dan kemudian setelah si kumbang menemukan bunga-bunga itu] kemudian dia akan menghisap madunya, alam telah menyediakannya secara instan. Bagaimana dengan manusia? Ketika manusia membutuhkan sesuatu untuk dikonsumsinya, alam memang menyediakan berbagai hal yang dibutuhkan oleh manusia, namun alam tidak menyediakannya secara instan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia harus mengambil bahan mentah yang disediakan oleh alam, mengolahnya sesuai dengan kebutuhannya dan kemudian setelah itu mengkonsumsinya. Proses pengolahan dari bahan mentah yang disediakan oleh alam tersebut menjadi bahan yang siap untuk dikonsumsi manusia inilah yang dinamakan dengan kerja. Dan hal inilah yang membedakan antara binatang dan manusia: Jika binatang tidak perlu kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan manusia mutlak harus bekerja.
Ketika manusia bekerja sebenarnya manusia mengambil
bentuknya yang alami dari alam dan kemudian mengubahnya menurut citra yang ada
di dalam batok kepala (otak/kecerdasan) si manusia yang mengubahnya, misalnya
jika pembaca adalah seorang pembuat meja, pembaca akan mengambil kayu dari alam
(dari hutan misalnya) dan dari kayu tersebutlah pembaca akan membuat meja,
ketika pembaca sedang memproses kayu tersebut menjadi sebuah meja seketika
itulah sesungguhnya pembaca sedang mengubah sesuatu yang alami menjadi sesuatu
yang sesuai dengan citra yang ada dalam pikiran pembaca. Sama seperti halnya
penulis ketika sedang menuliskan naskah (note ala facebook) ini untuk pembaca,
sebelum menuliskan naskah ini penulis telah mempelajari literatur-literatur
yang berkaitan dengan tema naskah ini (baca: merenggut hal yang alami dari
alam), setelah penulis mengolah berbagai bahan bacaan (literatur) di dalam
batok kepala penulis, baru kemudian penulis menuangkannya ke dalam bentuk
tulisan yang saat ini sedang dinikmati oleh pembaca. Berangkat dari sini
dapatlah dikatakan bahwa proses kreatif adalah inti dari aktivitas kerja
manusia. Tanpa kreativitas tidak ada apa pun yang dapat dikerjakan oleh
manusia.
Secara umum orang menyepakati bahwa manusia
memiliki kebutuhan hidup yang beragam atau sangat banyak sekali. Dan oleh
karena itulah, maka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak hanya
memerlukan satu produk dari hasil kerja manusia tetapi manusia membutuhkan
banyak produk hasil kerja manusia-manusia lainnya. Dan berangkat dari sinilah,
maka manusia hanya dapat hidup dengan manusia lainnya apabila dia ingin
memenuhi segala bentuk kebutuhan hidupnya. Sementara itu, secara psikologis,
orang akan senang sekali apabila hasil kerjanya dinikmati oleh orang lain,
begitu juga sebaliknya. Dan seandainya saja sistem kemasyarakat-manusia
mengizinkan, orang akan lebih senang memberikan hasil kerjanya untuk dinikmati
orang lain tanpa pamrih—tanpa imbalan apapun, kecuali cinta. Seorang tukang
pembuat meja butuh makan, dan hal ini dipenuhi oleh seorang petani, seorang
petani butuh meja dan hal ini dipenuhi oleh orang yang membuat meja, seorang tukang
pembuat meja dan petani membutuhkan buku untuk dibacanya—agar lebih terampil
dan pikirannya lebih kritis—maka dipenuhilah kebutuhan mereka oleh seorang
penulis, dan seorang penulis membutuhkan meja dan makan, kebutuhan penulis ini
dipenuhi oleh si pembuat meja dan petani, pembuat meja, petani, dan penulis
membutuhkan panci untuk memasak, maka kebutuhan ini dipenuhi oleh si pembuat
panci, si pembuat panci membutuhkan meja, makanan, dan bahan bacaan, maka
dipenuhilah kebutuhan dari si tukang panci ini oleh si pembuat meja, petani,
dan penulis…. untuk seterusnya silahkan pembaca mencari contoh-contoh konkret
lanjutannya J
Telah penulis bacotkan di muka bahwa kebutuhan
hidup manusia, dalam perkembangannya tidak hanya banyak sekalee, tetapi juga
beragam. Nah, dari berbagai keragaman inilah kemudian melahirkan berbagai
bentuk kreativitas manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberagaman
kreativitas manusia itu telah melahirkan bangunan peradaban manusia sampai
dengan saat ini.
Berangkat dari apa yang penulis sampaikan tersebut,
maka tidak berlebihanlah kiranya apabila dikatakan bahwa peradaban manusia
sampai dengan saat ini sebenarnya merupakan bangunan dari hasil kerja dari
generasi-generasi sebelumnya (sawah-sawah yang menghampar luas,
bangunan-bangunan peninggalan zaman dahulu, dan berbagai peninggalan hasil
kerja lainnya dari generasi-generasi sebelumnya), dimana orang yang satu
berdiri di atas pundak yang lain, dan yang lain berdiri di atas pundak yang
lainnya lagi, dan begitu seterusnya. Penulis tekankan sekali lagi, pada
fitrahnya manusia adalah mahluk sosial yang hanya dapat hidup secara kolektif
bukan “partikel bebas” yang hidup terisolasi dari lingkungan sosialnya
sebagaimana diwacanakan oleh ideologi kapitalisme-individualis yang
mengagungkan bahkan mendewakan kerakusan individu untuk memburu nafsu
hedonisnya.
Sekadar catatan, Adam Smith, seorang Bapak
kapitalis dunia, dalam teorinya menggariskan bahwa manusia pada hakekat adalah
rakus (baca: lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang kepentingan orang
lain), dan karena kerakusannya inilah, maka terjadilah peristiwa manusia satu
dengan manusia lainnya saling bersaing untuk saling mendapatkan sesuatu yang
dibutuhkan untuk menghidupi instink kerakusannya. Namun demikian, menurut Adam
Smith, justru karena terjadinya persaingan tersebut antara pihak satu dengan
pihak lainnya akan saling mengendalikan kerakusannya, karena apabila ada salah
satu pihak saja yang tidak bisa mengendalikan nafsu rakusnya, maka akan hancur
berkeping-kepinglah dia. Oke, untuk lebih jelasnya persaingan yang menyeret
orang untuk mengendalikan kerakusannya dapat penulis contohkan secara konkret
seperti ini: “si kapitalis demi untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya
merumuskan prinsip TANAM MODAL SEKECIL MUNGKIN, SIKAT (RAUP/DAPATKAN) KEUNTUNGAN
SEBESAR MUNGKIN. Berangkat dari prinsip inilah kemudian si kapitalis akan
menjual produk (komoditi) dari buruh yang dipekerjakannya dengan harga yang
seenak udelnya sendiri (walau pun udel itu ga enak, yang enak itu sesuatu yang
ada di bawah udel—ga hanya enak tapi sedap, nikmat dunia yang tiada tara
he..he..he…) atau semau-maunya. Atau dengan kata lain si kapitalis akan menjual
komoditi tersebut dengan harga yang semahal-mahalnya. Untuk menjual komoditi
dengan harga yang semahal-mahalnya ini bisa saja terjadi apabila si kapitalis
memonopoli penjualan komoditi tertentu, tetapi dia tidak akan melakukan hal ini
apabila ada pesaing lainnya yang menjual produk yang sama, artinya terjadi
persaingan dalam aksi jual-beli di ranah pasar. Kenapa si kapitalis tidak bisa
menjualnya dengan harga semahal-mahalnya? Jawabannya, karena apabila si
kapitalis menjualnya dengan harga semahal-mahalnya, maka komoditi yang
dijualnya tersebut tidak akan ada yang membelinya atau tidak laku. Loh kenapa
koq bisa begitu? Karena pesaingnya menjual komoditi tersebut dengan harga yang
lebih murah untuk menjatuhkan lawannya, dengan sambil tetap melakukan akumulasi
kapital! Di sinilah kita dapat melihat KONTRADIKSI dalam pemasaran
komoditi di ranah pasar kapitalis, di satu sisi si kapitalis ingin menjual
harga semahal-mahalnya, namun di sisi lainnya dia tidak bisa melakukannya,
karena kalau dia melakukannya dia akan bangkrut, gulung tikar, atau dihantam
tanpa ampun oleh buasnya persaingan pasar. Kontradiksi yang terjadi di
ranah pasar inilah, yang kemudian oleh Adam Smith diasumsikan sebagai sesuatu
yang dapat menggiring orang untuk mengendalikan diri dari kerakusan, yang
menurut Adam Smith, adalah fitrah sesungguhnya dari kepribadian
manusia-individu.
Berangkat dari apa yang dibacotkan oleh Adam Smith
tersebut, maka dapatlah ditarik garis perbedaan antara ideologi kapitalisme dan
sosialisme. Jika kapitalisme berasumsi bahwa manusia itu sebenarnya
individualis dan rakus, maka sosialisme secara tegas menolak hal itu. Dalam
ideologi sosialisme secara tegas mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya
memiliki empati untuk saling berbagi, bekerjasama, saling mengasihi antara satu
sama lain, dan berusaha saling menumbuhan rasa solideritas yang kuat antar
sesama tanpa diskriminasi. Cinta sejati adalah pondasi dari terbangunnya
ideologi sosialisme.
Dengan tegas penulis berstatement bahwa kerja-kerja
yang dilakukan oleh manusia sebenarnya mengandung elemen-elemen dari karekter
dasar ideologi sosialisme, yakni semangat berbagi, kerjasama, saling mengasihi
dan saling menumbuhkan rasa solideritas antar manusia satu dengan manusia lain.
Namun, dalam tulisan ini akan pembaca saksikan betapa elemen-eleman ini dirusak
oleh bekerjanya sistem kapitalisme yang mengagungkan bahkan mendewakan
kerakusan individu sebagaimana yang telah penulis kemukakan.
Setelah penulis mengulas tentang
hubungan manusia dengan kerja, ulasan berikutnya akan bergerak pada pemaparan
tentang perampokan nilai lebih yang dilakukan oleh kelas kapitalis terhadap
orang-orang yang dipekerjakannya sebagai buruh-buruh mereka.*** [Bersambung]
Tentang penulis:
Ismantoro Dwi Yuwono yang akrab
dipanggil dengan nama Isman ini dilahirkan di Kota Yogyakarta pada kamis legi
16 Oktober 1976. Isman menyelesaikan studi ilmu hukumnya, pada 2001, di
Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Aktif menulis buku dan berdiskusi.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di tikusmerah.com dan menjelaskan secara singkat pengantar untuk memahami Das kapital oleh Karl Marx. Kami sadar bahwa tulisan ini dipost di blog ini tanpa izin penulis dan media tersebut, kami menyadari tulisan ini sangat bermanfaat untuk berbagi pengetahuan sesama orang Papua, untuk menyadari Das Kapital dan sebagai implementasi kehidupan manusia Papua hingga menyadari ekonomi orang Papua yang sesungguhnya.
#NyamukPapua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar