Minggu, 12 April 2015

Filsafat dan Etika Dialog

Oleh: Mako Sani
Gambar Ilustrasi. Foto: NU Protestan

Tulisan ini sedikit menarik, ketika saya sendiri agak ragu untuk menuliskannya. Banyak pertimbangan yang terjadi dalam pikiran saya karena adanya sedikit benturan pemikiran antara teori besar para filusuf dunia dan kebiasaan orang Papua yang menjadi jaminan hidup mereka.

Dalam tulisan ini mungkin saya tidak akan membahas masalah konsep dialog yang menjadi masalah besar hingga sampai ini. Tidak jauh beda tetapi pandangan perspektifnya yang menjadi masalah dan hubungan antara konsep dialog dan tradisi orang Papua dalam menyelesaikan masalah. 

Dalam masyarakat multikultur dikenal dengan adanya suatu paham yang kita kenal dengan istilah disorganisasi dalam sistem yang berbeda. Konflik yang terus terjadi silih berganti karena adanya perbedaan persepsi mulai dari yang paling kecil hingga mencangkup kehidupan sosial masyarakat.

Dalam teori Marx, Marx meyakini bahwa konflik terjadi karena eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas sosial sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. Kelas –kelas sosial yang diyakini Marx, lahir karena adanya kepentingan, hingga lahirlah konflik yang mungkin sampai sekarang terjadi dalam sosial masyarakat kita.



Tidak jauh beda, Stephen K Sanderson menjelaskan bahwa strategi konflik Marxian secara essensial lebih merupakan strategi materialis ketimbang idealis. Dalam perspektif ini, Sanderson memandang teori Marxian terlalu condong kepada hal material dibandingan dengan hal-hal idealisme sebagai konsep yang sering timbul adanya konflik dalam masyarakat.

Kedua teori tadi sedikit memberikan gambaran kondisi sosial masyarakat yang tidak luput dari kondisi yang semakin hari kian meningkat. Konflik yang terjadi dalam sosial masyarakat, menjadi suatu gambaran bahwa hubungan individu maupun kelompok menjadi sebuah tolak ukur interaksi yang selalu terjadi, entah interaksi yang terjadi sehubungan dengan disorganisasi yang mendominan hingga terbentuknya masyarakat yang modern.

Kalau bicara soal konflik juga, Marx dalam karyanya ‘Dialektika’ menjelaskan bahwa ‘Umat manusia di muka bumi ini hanya menciptakan masalah-masalah yang dapat dipecahkan’. Sederhana rumusannya, dalil tersebut ikut menyunting kekuatan intelektual yang luar biasa besar sekaligus daya tarik praktis yang mampu digenggamnya dalam jangka waktu panjang.

Manusia dalam strata masyarakat yang silih berganti berubah-ubah menjadi suatu perhatian yang perlu kita pahami bersama. Manusia di dunia ini memahami konflik sebagai suatu perspektif yang sederhana, dalam tatanan yang selalu berganti. Konflik itu sendiri terkadang kita pandang sebagai sesuatu yang bersifat konservatif hingga masalah yang tidak dapat diselesaikan.

Masuk ke perspektif penyekesaian masalah. Tidak lepas dari pemiikiran besar Marx, bahwa bahwa konflik yang terjadi karena adanya perbedaan kelas, juga konflik yang terjadi , yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Penyelesaian masalah dalam bentuk dialog sering menjadi perdebatan para elit-elit yang memegang kekuasan di daerah-daerah terpimpin. Tak jauh beda dengan sistem pemerintahan di negeri ini yang semakin hari terisolasi dengan pergantian kekuasaan mulai dari demokrasi terpimpin hingga sekarang (Era Reformasi).

Isu perdamaian harus dipahami dalam kaitannya dengan perkembangan institusi modern jangka panjang. Kekerasan dan negara, seperti yang senantiasa ditekankankan oleh para pemikir para penganut sistem negara yang merupakan kendaraan utama adalah perang.
Kalau kita lihat dalam tatanan hidup negara-negara pramodern sangat berbeda dengan negara modern. Dalam negara pramodern, pusat-pusat politik tidak pernah mampu mempertahankan monopoli penuh atas cara-cara kekerasan. Berbeda dengan negara-negara modern, dan sering terjadi di negara-negara di Eropa.

Keterkaitan dengan hal ini, negara penganut sistem demokrasi reformasi yang masih memegang adanya kekuatan militer untuk menyelesaikan segala bentuk konflik yang terjadi dari internal hingga eksternel yang terjadi di negara  ini.

Indonesia dalam tatanan hidup masyarakat yang serba modern, tidak bisa kita katakan sebagagai negara pramodern, keahlian dalam segala lini kehidupan manusia yang menjadi suatu pusat perhatian dalam menjalankan roda pemerintahan yang semakin hari kian berganti kepemimpinannya.
Kalau bicara soal masyarakat yang multikultur, Indonesia mendominasi adanya kawasan multi berbagai etnis yang berbeda-beda, begitu pula cara hidup masyarakat yang sangat berbeda-beda.

Begitu pula masyarakat Indonesia tidak bisa kita katakan sebagai masyarakat modern, kekerasan masih terjadi. Kekerasan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah dalam bentuk apa pun. Kekerasan negara dengan negara, negara dengan rakyat, dan militer dengan rakyat yang semakin hari kian meningkan. Tidak jauh beda dengan realita pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Papua.

Filsafat Plato dan Dialog

Filsafat atau falsafah berasal dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda- kerja yang diturunkan dari kata philosophia, yang merupakan gabungan dariphilos, yang artinya cinta dan Sophia, yang artinya kebijaksanaan. Oleh karena itu philosophia artinya cinta kebijaksanaan. Filusuf pencetus dialog sebagai salah satu jaNiclan adanya rekonsiliasi dan perdamaian yang hakiki adalah Plato.

Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Ia adalah murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik, yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan “ideal”. Dia juga menulis ‘Hukum’ dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama.

Plato juga adalah salah satu filusuf yang mencintai adanya kebijaksanaan yang terjadi dalam kehidupan manusia dalam bentuk yang ekstrim dalam hidup manusia. Secara bijak, kita bisa katakan bahwa Plato memberikan pengaruh positif mengenai penyelesaian masalah melalui dialog dalam mengambil tindakan.

Hampir semua karya Plato ditulis dalam nada dialog. Dalam Surat VII, Plato berpendapat bahwa pena dan tinta membekukan pemikiran sejati yang ditulis dalam huruf-huruf yang membisu. Oleh karena itu, menurutnya, jika pemikiran itu perlu dituliskan, maka yang paling cocok adalah tulisan yang berbentuk dialog. Penekanan tentang dialog melalui tulisan yang memberikan suatu resensi terhadap kebijaksanaan dalam filsafat dalam menyelesaikan suatu masalah yang bisa kita kategorikan sebuah hal yang sederhana.

Tidak hanya itu, Plato mendefinisakan dialog dalam bentuk yang sederhana tetapi memiliki makna dan definisi yang mendalam. Dalam arti bahwa, dialog menurut pandangan Plato adalah sebuah rekonsiliasi dalam menyelesaikan masalah melalui dialog yang banyak memberikan masukan dan penyelesaian masalah yang menyeluruh dalam tulisan maupun lisan.

Dialog dalam tatanan hidup manusia memberikan gambaran secara lisan tentang perdamaian dan rekonsiliasi dalam bentuk dialog dalam mencapai suatu tujuan perdamaian tertentu apa pun itu bentuk masalahnya.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa dialog memberikan sebuah jaminan perdamaian apa pun itu bentuk disintegrasi dan konflik, baik konflik horisontal maupun vertikal yang kerap kita abdai dengan konflik yang tak ujung usai.

Perspektif Sosiologi Dalam dialog

Dialog menjadi sesuatu yang fundamentalis pengetahuan dalam perpektif yang sama dengan ilmu pengetahuan di atas. Tak jauh beda hanya semua mengarah apa suatu hal yang positif kalau kita pandang dari kacamata yang sama.

Teori yang membangun adanya suatu kesamaan dalam munculnya dialog, Plato mendefinisikan semua dalam kebijaksanaan secara tulisan yang membangun adanya kekuatan dari semua perspektif, tak hanya penyelesaian masalah yang berbau konflik yang nyata.

Dialog menjadi suatu perbincangan negara-negara barat dalam melakukan suatu rekonsiliasi dengan lahirnya ide mengenai dialog oleh Plato.
Sorotan perspektif sosiologi menjadi sesuatu yang sangat penting. Marx mengatakan, “Manusia hanya menciptakan masalah yag mampu diselesaikan oleh mausia sendiri”, itu membuktikan bahwa adanya keberagaman manusia yang selalu tumpangtindi hanya perspektif yang berbeda.

Dalam konflik oleh Marx, kita kenal dengan adanya jalan dimana rekonsiliasi proses pencaharian masalah secara mendetail yang membuat adana masalah itu terselesaikan.

Perang tak mampu menyelesaikan masalah, tergantung penyelesaianya seperti apa. Ilmu sosiologi menjelaskan bahwa Metode analisis, yaitu cara penanggulangan masalah sosial dengan melakukan penelitian-penelitian secara ilmiah. Para peneliti melakukan pengumpulan data sebagai dasar untuk mencari penyebab-penyebab timbulnya masalah sosial yang sedang terjadi, atau secara langsung menerapkan hasil keputusan pemikiran-pemikiran tertentu untuk meniadakan masalah sosial tersebut.

Penerapan metode ini selalu disertai oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu terhadap nilai-nilai sosial beserta adat istiadat masyarakat setempat agar terdapat keseimbangan dan kerja sama yang harmonis dalam usaha penanggulangan masalah masalah sosial tersebut.

Juga adalam ilmu Sosiologi yang kita kenal dengan perencanaan sosial. Perencanaan sosial yaitu suatu metode yang didasarkan pada fakta-fakta menurut hasil penelitian-penelitian ilmiah dan bukan berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis atau penelitian-penelitian tanpa perhitungan. Pemikirannya adalah usaha yang berorientasi pada masa depan dengan ukuran waktu dan biaya yang telah diterapkan. Perencanaan sosial berarti usaha memperhitungkan dan menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih serasi dengan lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah secara vertikan dan horisontal tidak menjadi ukuran, tetapi bagaimana jalan keluar yang baik dan tersistematis yang menjadi acuan utama dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Perencanaan sosial dan metode analisis dalam ilmu sosiologi dialogis perspektif yang mampu mencari masalah hingga akar-akarnya. Memang, perspektif ini mendominasi adanya penyelesaian yang kadang membuat kontraversi antara para elit dan masyarakat dalam pemerintahan yang mendominasi. Tetapi yang perlu kita ingat bahwa denganperencanaan dan analisis yang kuat antara beberapa pihak, dialogisnya masalah akan ada jalan keluarnya.

#FreeWestPapua


Penulis adalah penggiat belajar filsafat tetapi tidak pernah sekolah mulai dari SD hingga sampai saat ini, tinggal di Numbay, West Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar