Tulisan ini sedikit menarik,
ketika saya sendiri agak ragu untuk menuliskannya. Banyak pertimbangan yang
terjadi dalam pikiran saya karena adanya sedikit benturan pemikiran antara
teori besar para filusuf dunia dan kebiasaan orang Papua yang menjadi jaminan
hidup mereka.
Dalam tulisan ini mungkin
saya tidak akan membahas masalah konsep dialog yang menjadi masalah besar
hingga sampai ini. Tidak jauh beda tetapi pandangan perspektifnya yang menjadi
masalah dan hubungan antara konsep dialog dan tradisi orang Papua dalam
menyelesaikan masalah.
Dalam masyarakat multikultur
dikenal dengan adanya suatu paham yang kita kenal dengan istilah disorganisasi
dalam sistem yang berbeda. Konflik yang terus terjadi silih berganti karena
adanya perbedaan persepsi mulai dari yang paling kecil hingga mencangkup
kehidupan sosial masyarakat.
Dalam teori Marx, Marx
meyakini bahwa konflik terjadi karena eksistensi hubungan pribadi dalam produksi
dan kelas-kelas sosial sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. Kelas
–kelas sosial yang diyakini Marx, lahir karena adanya kepentingan, hingga
lahirlah konflik yang mungkin sampai sekarang terjadi dalam sosial masyarakat
kita.
Tidak jauh beda, Stephen K
Sanderson menjelaskan bahwa strategi konflik Marxian secara essensial lebih
merupakan strategi materialis ketimbang idealis. Dalam perspektif ini,
Sanderson memandang teori Marxian terlalu condong kepada hal material
dibandingan dengan hal-hal idealisme sebagai konsep yang sering timbul adanya
konflik dalam masyarakat.
Kedua teori tadi sedikit
memberikan gambaran kondisi sosial masyarakat yang tidak luput dari kondisi
yang semakin hari kian meningkat. Konflik yang terjadi dalam sosial masyarakat,
menjadi suatu gambaran bahwa hubungan individu maupun kelompok menjadi sebuah
tolak ukur interaksi yang selalu terjadi, entah interaksi yang terjadi
sehubungan dengan disorganisasi yang mendominan hingga terbentuknya masyarakat
yang modern.
Kalau bicara soal konflik
juga, Marx dalam karyanya ‘Dialektika’ menjelaskan bahwa ‘Umat manusia di muka
bumi ini hanya menciptakan masalah-masalah yang dapat dipecahkan’. Sederhana
rumusannya, dalil tersebut ikut menyunting kekuatan intelektual yang luar biasa
besar sekaligus daya tarik praktis yang mampu digenggamnya dalam jangka waktu
panjang.
Manusia dalam strata
masyarakat yang silih berganti berubah-ubah menjadi suatu perhatian yang perlu
kita pahami bersama. Manusia di dunia ini memahami konflik sebagai suatu
perspektif yang sederhana, dalam tatanan yang selalu berganti. Konflik itu
sendiri terkadang kita pandang sebagai sesuatu yang bersifat konservatif hingga
masalah yang tidak dapat diselesaikan.
Masuk ke perspektif
penyekesaian masalah. Tidak lepas dari pemiikiran besar Marx, bahwa bahwa
konflik yang terjadi karena adanya perbedaan kelas, juga konflik yang terjadi ,
yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Penyelesaian masalah dalam
bentuk dialog sering menjadi perdebatan para elit-elit yang memegang kekuasan
di daerah-daerah terpimpin. Tak jauh beda dengan sistem pemerintahan di negeri
ini yang semakin hari terisolasi dengan pergantian kekuasaan mulai dari demokrasi
terpimpin hingga sekarang (Era Reformasi).
Isu perdamaian harus dipahami
dalam kaitannya dengan perkembangan institusi modern jangka panjang. Kekerasan
dan negara, seperti yang senantiasa ditekankankan oleh para pemikir para
penganut sistem negara yang merupakan kendaraan utama adalah perang.
Kalau kita lihat dalam
tatanan hidup negara-negara pramodern sangat berbeda dengan negara modern.
Dalam negara pramodern, pusat-pusat politik tidak pernah mampu mempertahankan
monopoli penuh atas cara-cara kekerasan. Berbeda dengan negara-negara modern,
dan sering terjadi di negara-negara di Eropa.
Keterkaitan dengan hal ini,
negara penganut sistem demokrasi reformasi yang masih memegang adanya kekuatan
militer untuk menyelesaikan segala bentuk konflik yang terjadi dari internal
hingga eksternel yang terjadi di negara ini.
Indonesia dalam tatanan hidup
masyarakat yang serba modern, tidak bisa kita katakan sebagagai negara
pramodern, keahlian dalam segala lini kehidupan manusia yang menjadi suatu
pusat perhatian dalam menjalankan roda pemerintahan yang semakin hari kian
berganti kepemimpinannya.
Kalau bicara soal masyarakat
yang multikultur, Indonesia mendominasi adanya kawasan multi berbagai etnis
yang berbeda-beda, begitu pula cara hidup masyarakat yang sangat berbeda-beda.
Begitu pula masyarakat
Indonesia tidak bisa kita katakan sebagai masyarakat modern, kekerasan masih
terjadi. Kekerasan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah dalam
bentuk apa pun. Kekerasan negara dengan negara, negara dengan rakyat, dan
militer dengan rakyat yang semakin hari kian meningkan. Tidak jauh beda dengan
realita pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Papua.
Filsafat
Plato dan Dialog
Filsafat atau falsafah
berasal dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda-
kerja yang diturunkan dari kata philosophia, yang merupakan
gabungan dariphilos, yang artinya cinta dan Sophia, yang artinya
kebijaksanaan. Oleh karena itu philosophia artinya cinta kebijaksanaan. Filusuf
pencetus dialog sebagai salah satu jaNiclan adanya rekonsiliasi dan perdamaian
yang hakiki adalah Plato.
Plato adalah
seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari
Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat.
Ia adalah murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh
Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling
terkenal ialah Republik, yang di dalamnya berisi uraian garis besar
pandangannya pada keadaan “ideal”. Dia juga menulis ‘Hukum’ dan banyak dialog
di mana Socrates adalah peserta utama.
Plato juga adalah salah satu
filusuf yang mencintai adanya kebijaksanaan yang terjadi dalam kehidupan
manusia dalam bentuk yang ekstrim dalam hidup manusia. Secara bijak, kita bisa
katakan bahwa Plato memberikan pengaruh positif mengenai penyelesaian masalah
melalui dialog dalam mengambil tindakan.
Hampir semua karya Plato
ditulis dalam nada dialog. Dalam Surat VII, Plato berpendapat bahwa
pena dan tinta membekukan pemikiran sejati yang ditulis dalam huruf-huruf yang
membisu. Oleh karena itu, menurutnya, jika pemikiran itu perlu dituliskan, maka
yang paling cocok adalah tulisan yang berbentuk dialog. Penekanan tentang
dialog melalui tulisan yang memberikan suatu resensi terhadap kebijaksanaan
dalam filsafat dalam menyelesaikan suatu masalah yang bisa kita kategorikan
sebuah hal yang sederhana.
Tidak hanya itu, Plato
mendefinisakan dialog dalam bentuk yang sederhana tetapi memiliki makna dan
definisi yang mendalam. Dalam arti bahwa, dialog menurut pandangan Plato adalah
sebuah rekonsiliasi dalam menyelesaikan masalah melalui dialog yang banyak
memberikan masukan dan penyelesaian masalah yang menyeluruh dalam tulisan
maupun lisan.
Dialog dalam tatanan hidup
manusia memberikan gambaran secara lisan tentang perdamaian dan rekonsiliasi
dalam bentuk dialog dalam mencapai suatu tujuan perdamaian tertentu apa pun itu
bentuk masalahnya.
Seperti yang sudah dijelaskan
diatas, bahwa dialog memberikan sebuah jaminan perdamaian apa pun itu bentuk
disintegrasi dan konflik, baik konflik horisontal maupun vertikal yang kerap
kita abdai dengan konflik yang tak ujung usai.
Perspektif
Sosiologi Dalam dialog
Dialog menjadi sesuatu yang
fundamentalis pengetahuan dalam perpektif yang sama dengan ilmu pengetahuan di
atas. Tak jauh beda hanya semua mengarah apa suatu hal yang positif kalau kita
pandang dari kacamata yang sama.
Teori yang membangun adanya
suatu kesamaan dalam munculnya dialog, Plato mendefinisikan semua dalam
kebijaksanaan secara tulisan yang membangun adanya kekuatan dari semua
perspektif, tak hanya penyelesaian masalah yang berbau konflik yang nyata.
Dialog menjadi suatu
perbincangan negara-negara barat dalam melakukan suatu rekonsiliasi dengan
lahirnya ide mengenai dialog oleh Plato.
Sorotan perspektif sosiologi
menjadi sesuatu yang sangat penting. Marx mengatakan, “Manusia hanya
menciptakan masalah yag mampu diselesaikan oleh mausia sendiri”, itu
membuktikan bahwa adanya keberagaman manusia yang selalu tumpangtindi hanya
perspektif yang berbeda.
Dalam konflik oleh Marx, kita
kenal dengan adanya jalan dimana rekonsiliasi proses pencaharian masalah secara
mendetail yang membuat adana masalah itu terselesaikan.
Perang tak mampu
menyelesaikan masalah, tergantung penyelesaianya seperti apa. Ilmu sosiologi
menjelaskan bahwa Metode analisis, yaitu cara penanggulangan masalah sosial
dengan melakukan penelitian-penelitian secara ilmiah. Para peneliti melakukan
pengumpulan data sebagai dasar untuk mencari penyebab-penyebab timbulnya
masalah sosial yang sedang terjadi, atau secara langsung menerapkan hasil
keputusan pemikiran-pemikiran tertentu untuk meniadakan masalah sosial
tersebut.
Penerapan metode ini selalu
disertai oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu terhadap nilai-nilai sosial
beserta adat istiadat masyarakat setempat agar terdapat keseimbangan dan kerja
sama yang harmonis dalam usaha penanggulangan masalah masalah sosial tersebut.
Juga adalam ilmu Sosiologi
yang kita kenal dengan perencanaan sosial. Perencanaan sosial yaitu suatu
metode yang didasarkan pada fakta-fakta menurut hasil penelitian-penelitian
ilmiah dan bukan berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis atau
penelitian-penelitian tanpa perhitungan. Pemikirannya adalah usaha yang
berorientasi pada masa depan dengan ukuran waktu dan biaya yang telah
diterapkan. Perencanaan sosial berarti usaha memperhitungkan dan menciptakan
kehidupan masyarakat yang lebih serasi dengan lajunya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Masalah secara vertikan dan horisontal tidak menjadi
ukuran, tetapi bagaimana jalan keluar yang baik dan tersistematis yang menjadi
acuan utama dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Perencanaan sosial dan metode
analisis dalam ilmu sosiologi dialogis perspektif yang mampu mencari masalah
hingga akar-akarnya. Memang, perspektif ini mendominasi adanya penyelesaian
yang kadang membuat kontraversi antara para elit dan masyarakat dalam
pemerintahan yang mendominasi. Tetapi yang perlu kita ingat bahwa
denganperencanaan dan analisis yang kuat antara beberapa pihak, dialogisnya
masalah akan ada jalan keluarnya.
#FreeWestPapua
Penulis
adalah penggiat belajar filsafat tetapi tidak pernah sekolah mulai dari SD
hingga sampai saat ini, tinggal di Numbay, West Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar