Kamis, 26 Februari 2015

Andai Aku Seorang Indonesia

Aku Papua/ Foto:Ist


Oleh: Topilus B. Tebai.

Alangkah senangnya hati ini, seandainya saya mendapat kesempatan dari Tuhan, sesaat saja, menjadi seorang Indonesia. Ya, andai saya menjadi orang Indonesia, dengan kulitnya yang sawo matang, dengan rambutnya yang lurus, dan berperilaku seperti bangsa Indonesia.

Maksud saya, menjadi orang Indonesia sejati, tidak memiliki percampuran darah, dan punya kedudukan terhormat dalam pemerintahan negara Indonesia.

Saya pasti akan bersorak sorai bila sampai pada bulan Agustus, dimana ketika hari yang kunanti-nantikan itu tiba,  tanggal 17 Agustus,  aku merayakan hari kemerdekaan bangsaku, Bangsa Indonesia.

Saya, bila menjadi orang Indonesia, akan dengan gembira memandang ke angkasa biru, tempat dimana akan kulihat sang Merah Putih berkibar. Dengan kagum, akan aku lihat bendera itu, dan akan kubanyangkan betapa para pejuang yang telah mendahuluiku berjuang demi kemerdekaan yang sedang kunikmati ini.

Di Papua ini, satu hal yang membuatku paling bangga sebagai bangsa Indonesia adalah ketika bangsa Papua pribumi, mereka ikut pula bersama kami, merayakan hari ulang tahun kemerdekaan kami.


Bahkan kadang, mereka, pribumi Papua, yang berkulit gelap dengan rambut mereka yang keriting itu, pada hari bahagia kami seperti 17 Agustus, merekalah yang menjadi pasukan pengibar bendera. Merekalah yang dengan paling kyusuk menghormati bendera Merah Putih.

Padahal, setahu saya, tak ada orang Papua pernah ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Tidak ada. Tapi, ya, itulah namanya penjajahan. Dan aku sudah turut di dalamnya.

Anak-anak SD, SMP, SMA, semua akan datang ke tempat upacara dengan membawa bendera Merah Putih mini. Sungguh, saya akan semakin bangga, andai saja saya menjadi orang Indonesia.

Namun, andai saya jadi orang Indonesia, rasanya, hatiku ini kurang enak. Saya berpendapat, kiranya kurang sopan, dan rasanya sangat-sangat memalukan dan tidak layak terjadi, bila kita, bangsa Indonesia, masih mengajak masyarakat pribumi Papua untuk turut merayakan, dan ikut bersorak sorai dalam perayaan kemerdekaan Bangsa Indonesia ini.

Saya merasa, kita Indonesia telah menyinggung perasaan halus akan kehormatan dan harga diri mereka, juga sebagai sebuah bangsa yang berbeda dengan bangsa Indonesia.  Kita Indonesia, menurutku, pasti telah menyinggung kehormatan dan harga diri mereka, oleh karena kita di sini, merayakan hari jadinya negara kita, di tanah tumpah darah mereka yang justru kita jajah.

Andai aku seorang Indonesia, aku akan bertanya, apakah tidak terbayang dalam pikiran kita, bahwa budak-budak Papua itu juga mendambakan saat-saat seperti yang kita alami dan rayakan ini?

Seandainya saya orang Indonesia, saya tidak akan menerima kenyataan ini. Saya akan mengajukan protes terhadap gagasan peringatan ini di tanah jajahan.

Saya akan mengatakan kepada petinggi Indonesia, dan menulis di surat kabar, bahwa perbuatan peringatan kari kemerdekaan Indonesia di tanah Papua, yang melibatkan budak-budak Papua adalah tindakan yang salah! Karena kita telah menyinggung kehormatan dan harga diri mereka, budak-budak Papua itu sebagai sebuah bangsa.

Sayangnya, saya bukan seorang Indonesia. Saya hanya seorang anak negeri pulau Surga, Papua. Saya  tetap berkulit hitam, berambut keriting. Saya bangga dengan semua yang ada padaku ini. Saya tetap adalah salah satu anak bangsa Papua, yang oleh Indonesia dipanggil budak-budak, dan diperlakukan layaknya binatang.

Aku tetaplah seorang terjajah yang kadang dipaksa mengenakan lencana putih, dengan pita Merah Putih terikat di pinggang, dengan peci hitam di kepala, akan mengibarkan Merah Putih oleh tanganku sendiri di atas tanah airku, sementara nurani Bintang Kejoraku yang bersemayam di lubuk hatiku yang terdalam menangis pilu. Saat itu, rasanya harga diriku hancur luluh.

Saya juga tidak kuasa memprotes.  Saya takut mengatakan saya bangsa Papua, bangsa yang juga punya sejarah dan identitas. Saya takut mengatakan Bintang Kejora adalah bendera pusakaku, dan bukan Merah Putih.

Saya takut mengatakan, Kasih adalah dasar negara saya, dan bukan Pancasila. Saya takut mengakui menyanyikan lagi Hai Tanahku Papua, dan bukan lagi menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Saya takut mengakui semua yang menjadi milik bangsaku. Saya takut. Takut karena saya seorang budak dalam kacamata mereka, bangsa penjajah, yang kapan saja dapat mereka bunuh, aniaya, perkosa.

Saya takut memprotes demikian, karena saya tahu, Dr. Thomas Wanggai meninggal di penjara Cipinang, hanya karena bersikap sepertiku saat ini. Dortheys Hiyo ELuay dibunuh Kopasus, juga karena bersikap sepertiku. Musa Mako Tabuni, Hubertus Mabel, Kelly Kwalik, dibunuh militer Indonesia, hanya karena memilih bersikap sepertiku.

Aku memang telah terlanjur dibuat menjadi takut. Takut bernasib sama seperti Filep Karma yang masih mendekam di penjara Penjajah. Bernasib sama seperti Victor Yeimo, Selpius Bobii, Buchtar Tabuni, Forkorus Yaboisembut, mendekam di penjara penjajah.

Saya takut, karena apabila saya tunjukan jati diriku yang sebebarnya, saya akan mengikuti nasib pendahuluku.

Saya akan dianggap hina, manusia separatis, pemberontak, yang akan disalahkan segenap  pemerintahan, hukum, dan dari seluruh rakyat mereka yang telah didoktrin dalam kurikulum pendidikan mereka melalui pengajaran sejarah rekayasa. Mereka akan mencemooh dan mencaci saya melalui surat kabar milik mereka.

Mereka, bangsa Indonesia, tidak akan pernah sadar, bahwasanya merekalah yang harus merasa diri telah menjadi pencuri, perampok, penjajah, yang datang ke negeri milik bangsa lain, yang tak lain adalah negeriku. Menghancurkan segala tatanan hidupku, memaksaku mengikuti sistemnya yang menjeratku sendiri, hingga membuatku menjadi patung hidup di depan saluran eksploitasi semua kekayaan alamku. Membuatku tanpa banyak kata menjadi anjing penurut, yang dapat melakukan apa saja yang mereka perintahkan.

Saya menjadi takut, karena bila kutunjukkan jati diriku sebenarnya, aku akan dibunuh atas dasar hukum oleh Indonesia, negara yang datang memerintah dan mengeksploitasi negeriku ini.

Tetapi, bila saya tetap takut, sampai kapan? Juga, bila saya berkata jujur, bukankah harga sebuah kejujuran dalam konteks ini adalah kematian, yang tentu  akan dilegalkan oleh hukum penjajah, yang saat ini berlaku atas kami?

Oh, Tuhan, tolonglah kami. Kami benar-benar terjepit!

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di majalahselangkah.com. Kami sadar tulisan ini dimat di blog ini tanpa perizinan penulis dan redaksi media tersebut, dan kami sadar dengan memposting tulisan ini ke blog ini dapat bermanfaat bagi semua sahabat Papua dimana saja berada.

#NyamukPapua

1 komentar:

  1. Ketakutanmu adalah penjajahmu yg sebenarnya. Apakah kamu dan kaummu menanti mengalirnya darah dari martir-martir bintang kejora yg lain dan tinggal meratap dan tetap menjadi budak? jika itu maumu, tetaplah bermimpi!!! Hanya menunggu dan meratapi kehilangan dari mereka yg benar2 berani adalah tindakan para pengecut. Memang lebih mudah masuk ke kelompok org (seperti kebanyakan org papua) yg menanti munculnya kebebasan lewat perjuangan orang lain. org2 ini akan selalu nyaman dalam perbudakannya, ataupun dalam penantiaannya menjadi org yg terbebas. Semoga anda bukan org seperti itu. dan saya yakin pasti bukan, karena untuk menpost tulisan seperti ini, membutuhkan secuil keberanian juga. Doaku bersamamu saudara2ku. tapi ingat, jikalau tak ada sedikitpun harapan, mendingan tak usah berjuang sekalian.

    BalasHapus