Karl Marx / Foto: Ist |
Oleh: Ismantoro
Dwi Yuwono
MEKANISME PENGHISAPAN NILAI LEBIH
1. Rumusan K-K (Komoditi-Komoditi), K-U-K
(Komoditi-Uang-Komoditi), dan U-K-U+ (Uang-Komoditi-Uang + Keuntungan/Profit)
Telah penulis sebutkan di muka bahwa dalam
menjalani kehidupannya manusia membutuhkan berbagai produk, dan untuk
kepentingan inilah maka antara manusia satu dengan manusia lainnya saling
menukarkan hasil kerjanya antara satu sama lain. Misalnya seorang petani yang
membutuhkan meja akan menukarkan hasil kerjanya, berupa padi, dengan sebuah
meja dengan seorang pembuat meja. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: K-K
(Komoditi ditukar dengan Komoditi = padi ditukar dengan meja).
Dalam perkembangan selanjutnya pertukaran antar
komoditi secara langsung tersebut tidaklah praktis, dan untuk mempraktiskan
terjadinya tukar-menukar komoditi tersebut maka terciptalah uang. Uang adalah
nilai universal yang berfungsi untuk ditukarkan dengan berbagai komoditi. Dan
dengan uang inilah kemudian rumusan tukar-menukar barang/komoditi secara
langsung mengalami pergeseran, orang ketika melepaskan komoditinya tidak lagi
untuk mendapatkan komoditi, tetapi untuk mendapatkan uang demi untuk
mendapatkan komoditi. K-U-K (Komoditi-Uang-Komoditi). Hal ini dapat dicontohkan
secara konkret seperti ini: Ketika Kevin menjual padi, si kevin dari padi yang
dijualnya tersebut mendapatkan uang sebagai alat pembayarannya sebesar Rp. 100
ribu. Dan dengan uang sebesar Rp. 100 ribu inilah kemudian dibelanjakan oleh
Kevin untuk membeli sebuah meja seharga Rp. 100 ribu. Jadi, rumusan ini
sebenarnya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa “orang menjual untuk membeli
dan orang yang membeli adalah orang yang telah menjual hasil kerjanya.”
Di tangan kapitalis, rumusan-rumusan tersebut
mengalami perubahan. Perubahan tersebut terletak di sini: Ketika kapitalis atau
si kantong uang membeli suatu komoditi, komoditi yang dibelinya tersebut tidak
untuk dikonsumsinya sendiri tetapi dia gunakan untuk dijual kembali untuk
mendapatkan keuntungan. Misalnya si kantong uang membeli sebuah meja, seharga
Rp. 100 ribu. Si kantong uang itu setelah membali meja tersebut kemudian dia
menjualnya kembali kepada konsumen sebesar Rp. 150 ribu atau kalau bisa Rp. 200
ribu, ada sebesar 50%-100% keuntungan yang diperoleh oleh si kantong uang
tersebut. Dan keuntungan yang diperoleh oleh si kantong uang itulah
yang dinamakan dengan nilai lebih. Berangkat dari sini, maka dapatlah
dipaparkan rumusan dari mekanisme jual-beli tersebut seperti ini: U-K-U+
(uang dibelikan komoditi, dan ketika komoditi tersebut dijual kembali, maka
akan menghasilkan uang yang lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai uang
sebelumnya).
Sekarang mari disodorkan pertanyaan, darimanakah
sebenarnya asal dari nilai lebih tersebut? Apakah hal itu menyembul ke
permukaan dengan sendirinya (fetisisme) tanpa ada sebab dan musababnya? Jika
pembaca mengikuti ulasan penulis tentang fetisisme dalam tulisan Das Kapital
(bagian 1), pembaca akan menemukan ulasan penulis bahwa komoditi yang memiliki
kemampuan untuk memunculkan nilai lebih tersebut adalah komoditi yang tidak
lepas dari curahan kerja manusia, yang dalam sistem kapitalisme hal itu
dikerjakan oleh para buruh. Terus bagaimanakan ceritanya buruh dapat
menciptakan nilai lebih? Berikut ini penulis akan berusaha untuk mengulasnya.
2. Kapital Konstan, Kapital Variabel dan Proses
Penghisapan
Keberadaan komoditi tidak ada dengan sendirinya,
sebagaimana telah berulang kali penulis bacotkan bahwa komoditi sebenarnya
merupakan penampakan dari hasil kerja manusia. Ditangan kapitalis pekerja
(buruh) tidak lagi menjadi seorang pekerja yang mandiri yang bekerja atas
prakarsanya sendiri, menurut kemampuan dan keahliannya dalam menciptakan sebuah
komoditi, akan tetapi pekerja diubah hanya sebagai komoditi, modal atau kapital
yang karenanya dia harus rela diperbudak oleh majikannya atau sang kapitalis.
Tidak saja dipisahkan dari hasil kerjanya, para buruh, dalam sistem
kapitalisme, juga tercerabut dengan hubungan antar sesamanya. Hubungan antar
manusia tidak lagi didasarkan oleh hubungan yang merefleksikan kebersamaan,
kerjasama, kasih sayang dan cinta, serta solideritas tetapi hubungan yang tercipta
adalah hubungan persaingan untuk saling menjatuhkan dan saling menghisap.
Untuk menjual komoditi, sudah tentu komoditi yang
akan dijual oleh kapitalis itu terlebih dahulu harus ada dan tercipta. Untuk
menciptakan komoditi inilah kemudian kapitalis memberdayakan uang yang
dimilikinya dengan cara membelanjakannya untuk kepentingan penciptaan komoditi.
Uang yang dimiliki oleh kapitalis dan kemudian dibelanjakannya untuk
menciptakan komoditi inilah yang dinamakan dengan modal (selanjutnya disebut
kapital). Kapital dalam pengoperasiannya dapat dibedakan menjadi dua bentuk,
yakni kapital konstan dan kapital variabel. Kapital konstan adalah kapital
tetap yang dalam pengoperasionalannya harus melibatkan curahan kerja dari buruh
yang dipekerjakan oleh si kapitalis. Secara konkret kapital konstan ini tidak
lain adalah alat-alat produksi seperti mesin produksi, pabrik, atau robot,
pacul, pemahat patung atau kayu, alat pembajak sawah, bangunan, mesin cetak,
mesin uap, note book/lap top untuk menulis Pengnatar Untuk Memahami Das Kapital
ini, mesin cuci, mesin penggiling, dan lain-lain…. dan sebagainya. Sedangkan
kapital variabel adalah kapital yang memberikan curahan kerja sebagai syarat
untuk dapat beroperasinya alat produksi dan menghasilkan nilai lebih, kapital
variabel ini secara konkret tidak lain adalah para buruh yang dipekerjakan oleh
majikan.
Untuk menciptakan komoditi si kapitalis harus
membeli komoditi lainnya berupa alat-alat produksi atau alat kerja (kapital
konstan) dari pihak (kapitalis) lain. Ketika kapital konstan ini telah dimiliki
oleh si kapitalis, misalnya berupa alat-alat produksi untuk sarana pembuatan
meja, maka tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh si kapitalis adalah membeli
(baca: mempekerjakan) orang-orang yang mau bekerja untuknya. Orang-orang yang
sudi untuk bekerja untuk kepentingannya inilah yang dinamakan denga buruh.
Untuk apa kapitalis mempekerjakan para buruh? Yang pasti tidak untuk dikentuti
tetapi untuk menciptakan komoditi untuk dijual kembali oleh si kapitalis.
Sekarang mari kita berhitung: Misalnya, kapital
yang ditanamkan oleh si kapitalis untuk menciptakan komoditi adalah Rp. 1 juta.
Kemana larinya uang Rp. 1 juta ini? Begini misalnya, untuk membeli alat
produksi (kapital konstan) dan bahan baku si kapitalis harus mengeluarkan uang
sebesar Rp. 500 ribu, untuk membayar pajak kepada negara Rp. 300 ribu, dan
untuk membayar buruh yang dipekerjakannya (kapital variabel) adalah Rp. 200
ribu (pembayaran kepada buruh sebesar Rp. 200 ribu ini dicicil setiap
bulannya). Alokasi dari penanaman modal tersebut diandaikan saja habis
sebesar Rp. 1 juta.
Setelah uang Rp. 1 juta yang ditanamkan oleh si
kapitalis itu telah habis dialokasikan untuk dibayarkan untuk pengadaan kapital
konstan, kapital variabel, dan pajak negara tersebut tentunya si kapitalis
menginginkan keuntungan (profit) dari kapital yang sudah ditanamkannya
tersebut. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: Dari mana profit itu dapat
diperoleh oleh si kapitalis? Ikuti terus ulasan dari penulis tentang Das
Kapital-nya Karl Marx ini, karena berikut ini penulis akan membeberkannya
kepada pembaca.
Misalnya, dihadapan buruh telah tersedia
segelondongan kayu yang siap untuk diubah menjadi meja kayu. Dengan
pengetahuan, keahlian dan keterampilan yang dimilikinya kemudian buruh tersebut
berhasil mengubah kayu gelondongan tersebut menjadi berlusin-lusin meja. Ketika
meja (komoditi) ini telah diciptakan oleh buruh, hal yang terjadi kemudian
adalah meja yang telah diciptakan oleh buruh tersebut bukanlah milik si buruh,
tetapi milik majikan yang mengerjakannya, buruh hanya berhak mendapatkan upah
yang telah ditetapkan oleh si majikan dan disepakati olehnya.
Lusinan meja yang telah diciptakan oleh curahan
kerja buruh tersebut, misalnya kemudian dipasarkan (dijual) oleh majikan ke
pihak konsumen. Dan hasil dari penjualan lusinan meja tersebut si kapitalis
berhasil menjual seharga Rp. 1 juta 800 ribu (Rp. 1.800.000). Dari sini kemana
kemudian uang hasil penjualan itu akan dialokasikan? Rp. 1 juta masuk ke
kantong kapitalis sebagai modal kembali, sedangkan Rp. 800 ribu masuk ke
kantong kapitalis sebagai profit atau keuntungan miliknya yang kemudian akan
ditanamkannya kembali sebagai modal awal, demi untuk mengakumulai (menumpuk)
keuntungan yang lebih banyak dan lebih banyak…. dan terus lebih banyak.
Penumpukan kapital dan keuntungan inilah yang dinamakan dengan akumulasi
kapital.
Coba perhatikan berapa upah buruh yang diberikan
oleh majikan demi untuk terciptanya komoditi berupa meja tersebut? Hanya Rp.
200 ribu, saudara-saudara! Artinya ada perampasan nilai lebih sebesar Rp. 800
ribu dari majikan kepada buruh. Majikan/kapitalis berdalih dia berhak untuk Rp.
800 ribu itu untuk kepentingannya sendiri, karena dialah si pemilik alat
produksi, dan dia juga yang telah membeli si buruh dengan kesepakatan yang
fair. Jadi, kata si kapitalis, tidak ada masalah kan?! Tidak ada masalah,
KEPALA-LU BEJAT!!!!!! Jelas ini merupakan mekanisme penghisapan nilai lebih
dari pihak yang kuat (pemilik alat produksi) terhadap pihak yang lemah (pihak
yang tidak memiliki alat produksi). Rezim hak milik terhadap alat produksi
adalah penyebab dari mekanisme penindasan ini. Untuk melindungi mekanisme
penindasan ini, kapitalis pun tidak segan-segan untuk membayar tukang pukulnya
(baca: negara) untuk menindas perlawanan yang dilakukan oleh para buruh yang
berkesadaran kritis. Tidak hanya memanfaatkan negara sebagai alat penindas,
bahkan kapitalis pun akan menggunakan negara untuk melayani kepentingannya,
baik dalam bentuk regulasi (pembuatan kebijakan publik) maupun dalam bentuk deregulasi
(tindakan tanpa campur tangan negara terhadap beroperasinya para kapitalis di
ranah pasar).
Dalam mekanisme penindasan ala kapitalisme, pekerja
atau buruh tidak saja dipisahkan dari hasil kerjanya (komoditi) tetapi secara
otomatis buruh dipisahkan pula dari sesama manusia. Hasil kerjanya tidak lagi
merupakan cerminan dari realisasi dari kebutuhan untuk saling berbagi,
bekerjasama, saling mengasihi, dan saling menumbuhkan rasa solideritas akan
tetapi hanya sebagai seonggok komoditi tanpa empati-kemanusiaan yang bahkan dia
sendiri tidak memilikinya. Buruh bekerja bukan semata-mata untuk kemanusiaan
manusia, tetapi buruh bekerja demi untuk mendapatkan upah, buruh bekerja bukan
semata-mata untuk membangun beradaban nilai-nilai kemanusiaan tetapi semata-mata
agar dia bisa bertahan hidup, tidak kelaparan dan mampus, bahkan demi untuk
medapatkan pekerjaan sebagai buruh dia sanggup untuk menikam saudara, kawan,
dan sahabatnya sendiri. Tidak hanya sanggup untuk menikam, bahkan membunuh pun
akan dijalaninya. Astaga!!!!
3. Penghisapan Melalui Perpanjangan Waktu Kerja
Perlu
Sebagaimana telah penulis paparkan dalam Das
Kapital (Bagian 1) ketika terjadi perjumpaan antara komoditi satu dengan
komoditi lainnya, maka dari perjumpaan tersebut antara komoditi satu dengan
komoditi lainnya saling mencerminkan kuantitas nilai tukar, misalnya bila
celana dalam bertemu dengan jam tangan: celana dalam akan mencerminkan nilai
tukar jam tangan, dan begitu pula sebaliknya. Peristiwa saling mencerminkan ini
sesungguhnya merupakan peristiwa saling mengukur waktu kerja perlu sekaligus
waktu kerja secara sosial (baca: nilai sosial) antar komoditi, misalnya jika
orang ingin memiliki sebuah jam tangan, maka orang yang bersangkutan harus
memiliki 2 lusin (24 buah) celana dalam, begitu pula sebaliknya, jika orang
ingin memiliki 24 buah celana dalam, maka orang tersebut harus memiliki 1 buah
jam tangan untuk ditukarkan dengan 24 buah celana dalam. Lalu yang menjadi
pertanyaan, sebagaimana telah penulis jawab di dalam Das Kapital (Bagian 1),
adalah: apa yang menjadi ukuran untuk membedakan secara kuantitatif antara
nilai tukar komoditi satu dengan komoditi lainnya? Jawabannya adalah, curahan
durasi waktu kerja!
Curahan durasi waktu kerja menjawab pertanyaan,
mengapa 1 buah jam tangan hanya bisa ditukarkan dengan 24 buah celana dalam?
Karena 1 buah jam tangan durasi waktu kerjanya lebih lama ketimbang membuat 1
buah celana dalam (cawet). Misalnya, jika 1 buah jam membutuhkan waktu 24 jam
dalam proses pembuatannya, maka 1 buah celana dalam hanya memakan waktu selama
1 jam dalam proses pembuatannya. Jadi, perbandingan antara durasi waktu kerja
inilah yang menjadi ukuran kuantitatif nilai tukar antar komoditi yang saling
berjumpa.
Setelah penulis memaparkan durasi waktu kerja untuk
mengukur nilai tukar antar komoditi yang saling berjumpa, selanjutnya penulis
akan bergerak lebih jauh untuk mengulas tentang waktu kerja perlu untuk
meproduksi sebuah komoditi yang kemudian akan dikaitkan dengan mekanisme
perpanjangan waktu kerja perlu dalam mekanisme penghisapan.
Waktu kerja perlu adalah durasi waktu kerja yang
dibutuhkan oleh seorang pekerja untuk memproduk sebuah komoditi. Misalnya,
seorang buruh membutuhkan waktu 1 jam untuk memproduk 1 buah celana dalam, dan
dalam satu jam ini nilai tukar 1 buah celana dalam tersebut apabila dijual atau
dipasarkan seharga Rp. 50 ribu. Jadi, untuk memperoleh Rp. 50 ribu si buruh
memerlukan waktu 1 jam, dan diandaikan saja dengan uang sebesar Rp. 50 ribu
tersebut si buruh sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makannya dalam satu
hari. Tapi harus diingat si buruh tidak bekerja secara mandiri, dia bekerja
untuk majikannya, dan dia pun posisinya bukan sebagai manusia dihadapan
majikannya, tetapi hanyalah seonggok komoditi (kapital variabel) yang
dipekerjakan demi untuk dapat menciptakan nilai lebih yang dipersembahkan
kepada majikannya. Dan oleh karena itulah, waktu kerja perlu si buruh dalam
meproduksi 1 buah celana dalam tidak cukup hanya 1 jam, tetapi diperpanjang
hingga berjam-jam, dengan hitungan 1 jam waktu kerja dialokasikan untuk
dibayarkan kepada buruh (agar buruh tidak kelaparan, badannya sehat karena
makan-makanan yang bergizi, dan selain itu pula dapat memberikan nafkah kepada
keluarganya agar dia bisa terus bereproduksi (kawin) untuk menciptakan
regenerasi buruh) dan berjam-jam durasi waktu kerja perlu selebihnya masuk ke
kantong uang milik si kapitalis. Misalnya, yang seharusnya buruh hanya
membutuhkan waktu 1 jam untuk mendapatkan uang Rp. 50 ribu, karena dia bekerja
dengan si kapitalis, maka waktu kerjanya diperpanjang selama 24 jam untuk
mendapatkan uang sebesar Rp. 50 ribu. Artinya, ada sebesar Rp. 1.150.000 (satu
juta seratus lima puluh ribu rupiah) nilai lebih yang dihisap (dirampok) oleh
kapitalis terhadap buruh yang dipekerjakannya, dengan perhitungan sebagai
berikut: Rp. 50.000 X 24 jam = Rp. 1.200.000. Nominal Rp. 1.200.000 ini adalah
nilai tukar total yang diciptakan oleh buruh sebelum dikurangi Rp. 50 ribu
untuk dibayarkan kepada buruh, jika sudah dibayarkan kepada buruh, maka selisih
(nilai lebih) yang dikantongi/dihisap oleh si kapitalis adalah Rp. 1.150.000
(Rp. 1.200.000 – Rp. 50.000 = Rp. 1.150.000). Yups, inilah penghisapan
melalui perpanjangan waktu kerja perlu yang dilakukan oleh si
kapitalis kepada buruh yang dipekerjakannya.
Sebagaimana pula sudah penulis paparkan di muka di
dalam ranah persaingan pasar para kapitalis berlomba-lomba untuk memasarkan
produknya dengan murah agar komoditi yang dipasarkannya terjual atau diserbu
oleh konsumen dengan hebohnya, karena apabila dia tidak menjualnya dengan harga
murah-meriah, maka dia akan tersaingi oleh kapitalis lain yang menjual
komoditinya lebih murah. Namun demikian, walau pun di kapitalis menjual
komoditinya lebih murah dari kapitalis lainnya, sudah tentu donk si kapitalis
tidak mau apabila keuntungan yang diraupnya akan berkurang, akumulasi modal
harus terus dilakukan dengan cara merampok nilai lebih yang diciptakan oleh
buruh. Karena ingin tetap untung dengan harga penjualan harga komoditi semurah
mungkin, maka yang terjadi kemudian adalah, pertama, dikuranginya
upah buruh, dan kedua semakin diperpanjangnya waktu kerja
perlu, tidak hanya 24 jam tapi lebih dari itu, kalau bisa 24 jam X 4 = 96 jam.
Inilah watak rakus dari sistem kapitalisme yang diamini oleh seorang Adam
Smith.
Selama hak milik atas alat
produksi dikuasai oleh para kapitalis, selama itu pula akan selalu terjadi
penghisapan (penindasan) dari para kapitalis-rakus kepada para buruh. Para
buruh harus membangun kesadarannya untuk melakukan perlawanan terhadap sistem
yang menindas, merenggut negara dari para kapitalis dan kemudian meletakan di
bawah kekuasaan para buruh (proletariat). Negara proletariat (diktator
proletariat) adalah negara transisi yang akan menggiring kepada dimilikinya
secara kolektif alat-alat produksi, bukan untuk kesejahteraan per-individu,
tetapi untuk kesejahteraan bersama. Para buruh diseluruh dunia, gabungkanlah
kekuatan kesadaran kritis kalian, cungkil sistem kapitalis yang menindas ke
permukaan, dan hancurkan! [Bersambung]
Tentang penulis:
Ismantoro Dwi Yuwono yang akrab
dipanggil dengan nama Isman ini dilahirkan di Kota Yogyakarta pada kamis legi
16 Oktober 1976. Isman menyelesaikan studi ilmu hukumnya, pada 2001, di
Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Aktif menulis buku dan berdiskusi.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di tikusmerah.com dan menjelaskan secara singkat pengantar untuk memahami Das kapital oleh Karl Marx. Kami sadar bahwa tulisan ini dipost di blog ini tanpa izin penulis dan media tersebut, kami menyadari tulisan ini sangat bermanfaat untuk berbagi pengetahuan sesama orang Papua, untuk menyadari Das Kapital dan sebagai implementasi kehidupan manusia Papua hingga menyadari ekonomi orang Papua yang sesungguhnya.
#NyamukPapua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar