Senin, 02 Maret 2015

Pengantar Untuk Memahami Das Kapital [Bagian III]

Karl Marx / Foto: Ist
Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono

MEKANISME PENGHISAPAN NILAI LEBIH
1.        Rumusan K-K (Komoditi-Komoditi), K-U-K (Komoditi-Uang-Komoditi), dan U-K-U+ (Uang-Komoditi-Uang + Keuntungan/Profit)
Telah penulis sebutkan di muka bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia membutuhkan berbagai produk, dan untuk kepentingan inilah maka antara manusia satu dengan manusia lainnya saling menukarkan hasil kerjanya antara satu sama lain. Misalnya seorang petani yang membutuhkan meja akan menukarkan hasil kerjanya, berupa padi, dengan sebuah meja dengan seorang pembuat meja. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: K-K (Komoditi ditukar dengan Komoditi = padi ditukar dengan meja).
Dalam perkembangan selanjutnya pertukaran antar komoditi secara langsung tersebut tidaklah praktis, dan untuk mempraktiskan terjadinya tukar-menukar komoditi tersebut maka terciptalah uang. Uang adalah nilai universal yang berfungsi untuk ditukarkan dengan berbagai komoditi. Dan dengan uang inilah kemudian rumusan tukar-menukar barang/komoditi secara langsung mengalami pergeseran, orang ketika melepaskan komoditinya tidak lagi untuk mendapatkan komoditi, tetapi untuk mendapatkan uang demi untuk mendapatkan komoditi. K-U-K (Komoditi-Uang-Komoditi). Hal ini dapat dicontohkan secara konkret seperti ini: Ketika Kevin menjual padi, si kevin dari padi yang dijualnya tersebut mendapatkan uang sebagai alat pembayarannya sebesar Rp. 100 ribu. Dan dengan uang sebesar Rp. 100 ribu inilah kemudian dibelanjakan oleh Kevin untuk membeli sebuah meja seharga Rp. 100 ribu. Jadi, rumusan ini sebenarnya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa “orang menjual untuk membeli dan orang yang membeli adalah orang yang telah menjual hasil kerjanya.”

Di tangan kapitalis, rumusan-rumusan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut terletak di sini: Ketika kapitalis atau si kantong uang membeli suatu komoditi, komoditi yang dibelinya tersebut tidak untuk dikonsumsinya sendiri tetapi dia gunakan untuk dijual kembali untuk mendapatkan keuntungan. Misalnya si kantong uang membeli sebuah meja, seharga Rp. 100 ribu. Si kantong uang itu setelah membali meja tersebut kemudian dia menjualnya kembali kepada konsumen sebesar Rp. 150 ribu atau kalau bisa Rp. 200 ribu, ada sebesar 50%-100% keuntungan yang diperoleh oleh si kantong uang tersebut. Dan keuntungan yang diperoleh oleh si kantong uang itulah yang dinamakan dengan nilai lebih. Berangkat dari sini, maka dapatlah dipaparkan rumusan dari mekanisme jual-beli tersebut seperti ini: U-K-U+  (uang dibelikan komoditi, dan ketika komoditi tersebut dijual kembali, maka akan menghasilkan uang yang lebih besar nilainya dibandingkan dengan nilai uang sebelumnya).
Sekarang mari disodorkan pertanyaan, darimanakah sebenarnya asal dari nilai lebih tersebut? Apakah hal itu menyembul ke permukaan dengan sendirinya (fetisisme) tanpa ada sebab dan musababnya? Jika pembaca mengikuti ulasan penulis tentang fetisisme dalam tulisan Das Kapital (bagian 1), pembaca akan menemukan ulasan penulis bahwa komoditi yang memiliki kemampuan untuk memunculkan nilai lebih tersebut adalah komoditi yang tidak lepas dari curahan kerja manusia, yang dalam sistem kapitalisme hal itu dikerjakan oleh para buruh. Terus bagaimanakan ceritanya buruh dapat menciptakan nilai lebih? Berikut ini penulis akan berusaha untuk mengulasnya.
2. Kapital Konstan, Kapital Variabel dan Proses Penghisapan
Keberadaan komoditi tidak ada dengan sendirinya, sebagaimana telah berulang kali penulis bacotkan bahwa komoditi sebenarnya merupakan penampakan dari hasil kerja manusia. Ditangan kapitalis pekerja (buruh) tidak lagi menjadi seorang pekerja yang mandiri yang bekerja atas prakarsanya sendiri, menurut kemampuan dan keahliannya dalam menciptakan sebuah komoditi, akan tetapi pekerja diubah hanya sebagai komoditi, modal atau kapital yang karenanya dia harus rela diperbudak oleh majikannya atau sang kapitalis. Tidak saja dipisahkan dari hasil kerjanya, para buruh, dalam sistem kapitalisme, juga tercerabut dengan hubungan antar sesamanya. Hubungan antar manusia tidak lagi didasarkan oleh hubungan yang merefleksikan kebersamaan, kerjasama, kasih sayang dan cinta, serta solideritas tetapi hubungan yang tercipta adalah hubungan persaingan untuk saling menjatuhkan dan saling menghisap.
Untuk menjual komoditi, sudah tentu komoditi yang akan dijual oleh kapitalis itu terlebih dahulu harus ada dan tercipta. Untuk menciptakan komoditi inilah kemudian kapitalis memberdayakan uang yang dimilikinya dengan cara membelanjakannya untuk kepentingan penciptaan komoditi. Uang yang dimiliki oleh kapitalis dan kemudian dibelanjakannya untuk menciptakan komoditi inilah yang dinamakan dengan modal (selanjutnya disebut kapital). Kapital dalam pengoperasiannya dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni kapital konstan dan kapital variabel. Kapital konstan adalah kapital tetap yang dalam pengoperasionalannya harus melibatkan curahan kerja dari buruh yang dipekerjakan oleh si kapitalis. Secara konkret kapital konstan ini tidak lain adalah alat-alat produksi seperti mesin produksi, pabrik, atau robot, pacul, pemahat patung atau kayu, alat pembajak sawah, bangunan, mesin cetak, mesin uap, note book/lap top untuk menulis Pengnatar Untuk Memahami Das Kapital ini, mesin cuci, mesin penggiling, dan lain-lain…. dan sebagainya. Sedangkan kapital variabel adalah kapital yang memberikan curahan kerja sebagai syarat untuk dapat beroperasinya alat produksi dan menghasilkan nilai lebih, kapital variabel ini secara konkret tidak lain adalah para buruh yang dipekerjakan oleh majikan.
Untuk menciptakan komoditi si kapitalis harus membeli komoditi lainnya berupa alat-alat produksi atau alat kerja (kapital konstan) dari pihak (kapitalis) lain. Ketika kapital konstan ini telah dimiliki oleh si kapitalis, misalnya berupa alat-alat produksi untuk sarana pembuatan meja, maka tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh si kapitalis adalah membeli (baca: mempekerjakan) orang-orang yang mau bekerja untuknya. Orang-orang yang sudi untuk bekerja untuk kepentingannya inilah yang dinamakan denga buruh. Untuk apa kapitalis mempekerjakan para buruh? Yang pasti tidak untuk dikentuti tetapi untuk menciptakan komoditi untuk dijual kembali oleh si kapitalis.
Sekarang mari kita berhitung: Misalnya, kapital yang ditanamkan oleh si kapitalis untuk menciptakan komoditi adalah Rp. 1 juta. Kemana larinya uang Rp. 1 juta ini?  Begini misalnya, untuk membeli alat produksi (kapital konstan) dan bahan baku si kapitalis harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 500 ribu, untuk membayar pajak kepada negara Rp. 300 ribu, dan untuk membayar buruh yang dipekerjakannya (kapital variabel) adalah Rp. 200 ribu (pembayaran kepada buruh sebesar Rp. 200 ribu ini dicicil setiap bulannya).  Alokasi dari penanaman modal tersebut diandaikan saja habis sebesar Rp. 1 juta.
Setelah uang Rp. 1 juta yang ditanamkan oleh si kapitalis itu telah habis dialokasikan untuk dibayarkan untuk pengadaan kapital konstan, kapital variabel, dan pajak negara tersebut tentunya si kapitalis menginginkan keuntungan (profit) dari kapital yang sudah ditanamkannya tersebut. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: Dari mana profit itu dapat diperoleh oleh si kapitalis? Ikuti terus ulasan dari penulis tentang Das Kapital-nya Karl Marx ini, karena berikut ini penulis akan membeberkannya kepada pembaca.
Misalnya, dihadapan buruh telah tersedia segelondongan kayu yang siap untuk diubah menjadi meja kayu. Dengan pengetahuan, keahlian dan keterampilan yang dimilikinya kemudian buruh tersebut berhasil mengubah kayu gelondongan tersebut menjadi berlusin-lusin meja. Ketika meja (komoditi) ini telah diciptakan oleh buruh, hal yang terjadi kemudian adalah meja yang telah diciptakan oleh buruh tersebut bukanlah milik si buruh, tetapi milik majikan yang mengerjakannya, buruh hanya berhak mendapatkan upah yang telah ditetapkan oleh si majikan dan disepakati olehnya.
Lusinan meja yang telah diciptakan oleh curahan kerja buruh tersebut, misalnya kemudian dipasarkan (dijual) oleh majikan ke pihak konsumen. Dan hasil dari penjualan lusinan meja tersebut si kapitalis berhasil menjual seharga Rp. 1 juta 800 ribu (Rp. 1.800.000). Dari sini kemana kemudian uang hasil penjualan itu akan dialokasikan? Rp. 1 juta masuk ke kantong kapitalis sebagai modal kembali, sedangkan Rp. 800 ribu masuk ke kantong kapitalis sebagai profit atau keuntungan miliknya yang kemudian akan ditanamkannya kembali sebagai modal awal, demi untuk mengakumulai (menumpuk) keuntungan yang lebih banyak dan lebih banyak…. dan terus lebih banyak. Penumpukan kapital dan keuntungan inilah yang dinamakan dengan akumulasi kapital.
Coba perhatikan berapa upah buruh yang diberikan oleh majikan demi untuk terciptanya komoditi berupa meja tersebut? Hanya Rp. 200 ribu, saudara-saudara! Artinya ada perampasan nilai lebih sebesar Rp. 800 ribu dari majikan kepada buruh. Majikan/kapitalis berdalih dia berhak untuk Rp. 800 ribu itu untuk kepentingannya sendiri, karena dialah si pemilik alat produksi, dan dia juga yang telah membeli si buruh dengan kesepakatan yang fair. Jadi, kata si kapitalis, tidak ada masalah kan?! Tidak ada masalah, KEPALA-LU BEJAT!!!!!! Jelas ini merupakan mekanisme penghisapan nilai lebih dari pihak yang kuat (pemilik alat produksi) terhadap pihak yang lemah (pihak yang tidak memiliki alat produksi). Rezim hak milik terhadap alat produksi adalah penyebab dari mekanisme penindasan ini. Untuk melindungi mekanisme penindasan ini, kapitalis pun tidak segan-segan untuk membayar tukang pukulnya (baca: negara) untuk menindas perlawanan yang dilakukan oleh para buruh yang berkesadaran kritis. Tidak hanya memanfaatkan negara sebagai alat penindas, bahkan kapitalis pun akan menggunakan negara untuk melayani kepentingannya, baik dalam bentuk regulasi (pembuatan kebijakan publik) maupun dalam bentuk deregulasi (tindakan tanpa campur tangan negara terhadap beroperasinya para kapitalis di ranah pasar).
Dalam mekanisme penindasan ala kapitalisme, pekerja atau buruh tidak saja dipisahkan dari hasil kerjanya (komoditi) tetapi secara otomatis buruh dipisahkan pula dari sesama manusia. Hasil kerjanya tidak lagi merupakan cerminan dari realisasi dari kebutuhan untuk saling berbagi, bekerjasama, saling mengasihi, dan saling menumbuhkan rasa solideritas akan tetapi hanya sebagai seonggok komoditi tanpa empati-kemanusiaan yang bahkan dia sendiri tidak memilikinya. Buruh bekerja bukan semata-mata untuk kemanusiaan manusia, tetapi buruh bekerja demi untuk mendapatkan upah, buruh bekerja bukan semata-mata untuk membangun beradaban nilai-nilai kemanusiaan tetapi semata-mata agar dia bisa bertahan hidup, tidak kelaparan dan mampus, bahkan demi untuk medapatkan pekerjaan sebagai buruh dia sanggup untuk menikam saudara, kawan, dan sahabatnya sendiri. Tidak hanya sanggup untuk menikam, bahkan membunuh pun akan dijalaninya. Astaga!!!!
3. Penghisapan Melalui Perpanjangan Waktu Kerja Perlu
Sebagaimana telah penulis paparkan dalam Das Kapital (Bagian 1) ketika terjadi perjumpaan antara komoditi satu dengan komoditi lainnya, maka dari perjumpaan tersebut antara komoditi satu dengan komoditi lainnya saling mencerminkan kuantitas nilai tukar, misalnya bila celana dalam bertemu dengan jam tangan: celana dalam akan mencerminkan nilai tukar jam tangan, dan begitu pula sebaliknya. Peristiwa saling mencerminkan ini sesungguhnya merupakan peristiwa saling mengukur waktu kerja perlu sekaligus waktu kerja secara sosial (baca: nilai sosial) antar komoditi, misalnya jika orang ingin memiliki sebuah jam tangan, maka orang yang bersangkutan harus memiliki 2 lusin (24 buah) celana dalam, begitu pula sebaliknya, jika orang ingin memiliki 24 buah celana dalam, maka orang tersebut harus memiliki 1 buah jam tangan untuk ditukarkan dengan 24 buah celana dalam. Lalu yang menjadi pertanyaan, sebagaimana telah penulis jawab di dalam Das Kapital (Bagian 1), adalah: apa yang menjadi ukuran untuk membedakan secara kuantitatif antara nilai tukar komoditi satu dengan komoditi lainnya? Jawabannya adalah, curahan durasi waktu kerja!
Curahan durasi waktu kerja menjawab pertanyaan, mengapa 1 buah jam tangan hanya bisa ditukarkan dengan 24 buah celana dalam? Karena 1 buah jam tangan durasi waktu kerjanya lebih lama ketimbang membuat 1 buah celana dalam (cawet). Misalnya, jika 1 buah jam membutuhkan waktu 24 jam dalam proses pembuatannya, maka 1 buah celana dalam hanya memakan waktu selama 1 jam dalam proses pembuatannya. Jadi, perbandingan antara durasi waktu kerja inilah yang menjadi ukuran kuantitatif nilai tukar antar komoditi yang saling berjumpa.
Setelah penulis memaparkan durasi waktu kerja untuk mengukur nilai tukar antar komoditi yang saling berjumpa, selanjutnya penulis akan bergerak lebih jauh untuk mengulas tentang waktu kerja perlu untuk meproduksi sebuah komoditi yang kemudian akan dikaitkan dengan mekanisme perpanjangan waktu kerja perlu dalam mekanisme penghisapan.
Waktu kerja perlu adalah durasi waktu kerja yang dibutuhkan oleh seorang pekerja untuk memproduk sebuah komoditi. Misalnya, seorang buruh membutuhkan waktu 1 jam untuk memproduk 1 buah celana dalam, dan dalam satu jam ini nilai tukar 1 buah celana dalam tersebut apabila dijual atau dipasarkan seharga Rp. 50 ribu. Jadi, untuk memperoleh Rp. 50 ribu si buruh memerlukan waktu 1 jam, dan diandaikan saja dengan uang sebesar Rp. 50 ribu tersebut si buruh sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan makannya dalam satu hari. Tapi harus diingat si buruh tidak bekerja secara mandiri, dia bekerja untuk majikannya, dan dia pun posisinya bukan sebagai manusia dihadapan majikannya, tetapi hanyalah seonggok komoditi (kapital variabel) yang dipekerjakan demi untuk dapat menciptakan nilai lebih yang dipersembahkan kepada majikannya. Dan oleh karena itulah, waktu kerja perlu si buruh dalam meproduksi 1 buah celana dalam tidak cukup hanya 1 jam, tetapi diperpanjang hingga berjam-jam, dengan hitungan 1 jam waktu kerja dialokasikan untuk dibayarkan kepada buruh (agar buruh tidak kelaparan, badannya sehat karena makan-makanan yang bergizi, dan selain itu pula dapat memberikan nafkah kepada keluarganya agar dia bisa terus bereproduksi (kawin) untuk menciptakan regenerasi buruh) dan berjam-jam durasi waktu kerja perlu selebihnya masuk ke kantong uang milik si kapitalis. Misalnya, yang seharusnya buruh hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk mendapatkan uang Rp. 50 ribu, karena dia bekerja dengan si kapitalis, maka waktu kerjanya diperpanjang selama 24 jam untuk mendapatkan uang sebesar Rp. 50 ribu. Artinya, ada sebesar Rp. 1.150.000 (satu juta seratus lima puluh ribu rupiah) nilai lebih yang dihisap (dirampok) oleh kapitalis terhadap buruh yang dipekerjakannya, dengan perhitungan sebagai berikut: Rp. 50.000 X 24 jam = Rp. 1.200.000. Nominal Rp. 1.200.000 ini adalah nilai tukar total yang diciptakan oleh buruh sebelum dikurangi Rp. 50 ribu untuk dibayarkan kepada buruh, jika sudah dibayarkan kepada buruh, maka selisih (nilai lebih) yang dikantongi/dihisap oleh si kapitalis adalah Rp. 1.150.000 (Rp. 1.200.000 – Rp. 50.000 = Rp. 1.150.000). Yups, inilah penghisapan melalui perpanjangan waktu kerja perlu yang dilakukan oleh si kapitalis kepada buruh yang dipekerjakannya.
Sebagaimana pula sudah penulis paparkan di muka di dalam ranah persaingan pasar para kapitalis berlomba-lomba untuk memasarkan produknya dengan murah agar komoditi yang dipasarkannya terjual atau diserbu oleh konsumen dengan hebohnya, karena apabila dia tidak menjualnya dengan harga murah-meriah, maka dia akan tersaingi oleh kapitalis lain yang menjual komoditinya lebih murah. Namun demikian, walau pun di kapitalis menjual komoditinya lebih murah dari kapitalis lainnya, sudah tentu donk si kapitalis tidak mau apabila keuntungan yang diraupnya akan berkurang, akumulasi modal harus terus dilakukan dengan cara merampok nilai lebih yang diciptakan oleh buruh. Karena ingin tetap untung dengan harga penjualan harga komoditi semurah mungkin, maka yang terjadi kemudian adalah, pertama, dikuranginya upah buruh, dan kedua semakin diperpanjangnya waktu kerja perlu, tidak hanya 24 jam tapi lebih dari itu, kalau bisa 24 jam X 4 = 96 jam. Inilah watak rakus dari sistem kapitalisme yang diamini oleh seorang Adam Smith.
Selama hak milik atas alat produksi dikuasai oleh para kapitalis, selama itu pula akan selalu terjadi penghisapan (penindasan) dari para kapitalis-rakus kepada para buruh. Para buruh harus membangun kesadarannya untuk melakukan perlawanan terhadap sistem yang menindas, merenggut negara dari para kapitalis dan kemudian meletakan di bawah kekuasaan para buruh (proletariat). Negara proletariat (diktator proletariat) adalah negara transisi yang akan menggiring kepada dimilikinya secara kolektif alat-alat produksi, bukan untuk kesejahteraan per-individu, tetapi untuk kesejahteraan bersama. Para buruh diseluruh dunia, gabungkanlah kekuatan kesadaran kritis kalian, cungkil sistem kapitalis yang menindas ke permukaan, dan hancurkan! [Bersambung]

Tentang penulis:

Ismantoro Dwi Yuwono yang akrab dipanggil dengan nama Isman ini dilahirkan di Kota Yogyakarta pada kamis legi 16 Oktober 1976. Isman menyelesaikan studi ilmu hukumnya, pada 2001, di Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Aktif menulis buku dan berdiskusi.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di tikusmerah.com dan menjelaskan secara singkat pengantar untuk memahami Das kapital oleh Karl Marx. Kami sadar bahwa tulisan ini dipost di blog ini tanpa izin penulis dan media tersebut, kami menyadari tulisan ini sangat bermanfaat untuk berbagi pengetahuan sesama orang Papua, untuk menyadari Das Kapital dan sebagai implementasi kehidupan manusia Papua hingga menyadari ekonomi orang Papua yang sesungguhnya.

#NyamukPapua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar