Rabu, 07 Oktober 2015

Pasal Penghinaan

Oleh: Ragil Nugroho

Saya punya teman, namanya Ignas Kleruk Mao. Asalnya dari Flores. Dulu masih kurus kerempeng, sekarang sudah seperti Mike Tyson. Tapi tentu bukan tentang tubuhnya yang ingin saya tuliskan, melainkan tentang pengalamannya di krangkeng karena dianggap menghina presiden.

Sebagai anggota LMND [Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi] DIY, Ignas mendapat tugas membantu pengorganisiran buruh dan mahasiswa di Surabaya. Berangkatlah dia ke Surabaya bersama aktivis mahasiswa Yogya lainnya. Saat itu bertepatan dengan kebijakan Rezim Mega menaikkan BBM/TDL. Sikap LMND dan PRD dengan tegas menolak. Maka digelar demonstrasi diberbagai kota.

Tentu saja di Surabaya aksi digelar. Ignas yang berada di Kota Pahlawan itu ikut aksi. Sebagai bentuk protes, para demonstran membakar foto Mega dan Hamzah Haz. Karena aksi ini semakin memanas dan terjadi di berbagai kota, rezim Mega panas juga. Apalagi fotonya diinjak injak dan dibakar. Aparat kepolisian kemudian diperintahkan untuk melakukan tindakan represif terhadap demonstran. Ignas salah satu yang ditangkap.

Sebetulnya Ignas tidak membakar foto presiden maupun wakilnya. Tapi Ignas membawa wayang-wayangnya berbentuk Mega. Tentu saja yang membuat wayang-wayangan ini bukan profesional sehingga hasilnya tak mirip aslinya. Mega yang dalam kenyataannya gemuk, dalam wayang-wayangan yang dibawa Ignas langsing seperti J-Lo. Mungkin inilah yang dianggap menghina presiden: Mega yang gemuk gombyor-gombyor digambarkan langsing seperti J-Lo. Bukankah itu penghinaan? Makanya Ignas ditangkap pada tanggal 21 Mei 2002.

Sebelum Ignas ditangkap, pada 13 Mei 2002, digelar aksi serupa. Pada saat ini patung Mega sebesar gajah dibakar sebagai protes terhadap rencana kenaikan BBM/TDL. Sebetulnya bukan pembakaran itu yang membuat rezim Mega marah. Sebabnya lagi-lagi patung Mega tersebut dikerjakan secara serampangan. Gemuknya sudah pas, tapi bagian payudara dan pantatnya dibuat kekecilan. Tentu saja membuat orang yang dipatungkan marah: masak payudara sebesar semangka cuma digambarkan sebesar jeruk keprok. Bukankah itu penghinaan? Maka sejak itu PRD/LMND diincar. Dan, puncaknya penangkapan Ignas.
Setelah proses di polisi selesai, Ignas diajukan ke pengadilan. Akhirnya divonis satu tahun penjara. Selama waktu itu ia mendiami penjara Medaeng.

Pelajaran dari kasus Ignas tersebut, kalau menggambarkan sosok presiden harus tepat. Jangan misalnya membuat wayang-wayangan Jokowi tapi bentuknya seperti Van Dam. Itu bisa dianggap menghina presiden.
Tentu saja bukan hanya Ignas yang ditangkap karena dianggap menghina presiden. Di Yogya ada Mahendra, aktivis LMND dan Yoyok, aktivis SPI [Serikat Pengamen Indonesia]. Mereka ditangkap setelah aksi di Bunderan UGM. Dalam aksi tersebut foto Mega dan Hamzah Haz si Peci Miring dibakar. Kedua aktivis tersebut kemudian di bawa ke Polres Sleman. Sebetulnya Mahendra tidak membakar, tapi karena yang memimpin aksi, ikut ditangkap juga.

Prosesnya sudah klise. Setelah proses di polisi selesai kemudian diajukan ke pengadilan. Nah, di pengadilan ini yang seru. Kedua aktivis tersebut kena pasal menghina kepala negara, tapi lagi lagi lewat pledoi, mereka kembali melakukan penghinaan. Kebetulan pledoi tersebut saya yang tulis. Isinya yang 70 halaman memang menghina rezim Mega. Maka hakim pun tak kuat ketika pledoi dibacakan. Baru halaman 10, hakim mengetok palu, memerintahkan agar pembacaan pledoi dihentikan. Akhirnya, setelah berbulan-bulan diadili, keduanya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Inilah hukuman terlama pasca reformasi dikenakan pada aktivis dianggap menghina presiden.

Rezim Mega tak hanya menggunakan pasal penghinaan untuk menghentikan demonstrasi mahasiswa. Tapi juga dengan teror. Kejadian yang akan saya ceritakan ini terjadi di jembatan Sayegan. Sepulang aksi di perempatan kantor pos Yogyakarta, Paulus Suryata Ginting, aktivis LMND, membonceng saya. Pelan pelan saja sepeda motor melaju. Santai sembari menikmati udara Yogya. Tiba-tiba, sampai di jembatan Sayegan, sekelebat saya lihat sepeda motor memepet kami. Tanpa bilang apa-apa, yang dibelakang mengayunkan benda (ternyata golak) ke kepala saya. “Prok”, helm yang saya gunakan pecah dua. Kontan saja, melihat diserang, saya lompat dari sepeda motor. Setelah itu pembacok tadi mengayunkan goloknya ke Paulus. Helmnya juga pecah. Ternyata kepala berdarah-darah. Saya sendiri merasa beruntung, walaupun ditebas pakai golok, tidak luka seincipun. Sebetulnya, sebelum peristiwa ini, saya sudah pernah dibacok preman bayaran. Kejadiannya pada tahun 1999 di sekre PRD Yogyakarta. Malam hari kejadiannya. Tiba-tiba segerombolan orang menyerang. Saya yang dekat dengan pintu sehingga melihat penyerang datang, teriak kalau ada penyerangan, sehingga yang di dalam rumah berhamburan menyelamatkan diri lewat pintu belakang. Saya yang berada paling belakang tak sempat menyelamatkan diri. Pada akhirnya punggung saya kena tebasan golok. Mau tidak mau saya berbalik. Ketika golok dianyunkan lagi, saya tangkis. Dua bacokan mengenai tangan. Entah kenapa si pembacok tiba tiba kabur. Maka selamatlah saya. Kalau pembacok tidak kabur, mungkin diri saya tinggal nama.

Akhirnya Paulus yang terluka parah kepalanya di bawa ke rumah sakit Panti Rapih. Dokter harus menjahit 30 jahitan untuk menghentikan pendarahan. Paulus pun akhirnya bisa diselamatkan.

Teror-teror seperti itu tak berhenti. Setelah Paulus kepalanya ditebas golok, beberapa waktu berselang sekretariat PRD/LMND Yogya dilembari bom molotov. Kejadiannya malam hari. Saat penghuni sedang bersantai, segerombolan orang melempar bom molotov. Tentu saja para penghuni rumah panik. Berhamburan menyelamatkan diri. Setelah penyerang pergi, baru diketahui sepeda motor yang di parkir di halaman depan dihancurkan dengan golok. Sebab musabab penyerangan itu tentu saja berkaitan dengan demonstrasi melawan kebijakan rezim Mega.

Tentu saja yang ditangkap dan diteror tidak hanya di Yogya. Di kota-kota lain seperti Semarang, Jakarta, Palu, dll. Rata rata yang diajukan ke pengadilan dihukum 6 bulan sampai 1 tahun. Tentu saja yang dikenakan pada mereka karena menghina kepala negara.

Kisah ini saya angkat kembali untuk mengingat masa ketika rezim Mega/PDIP berkuasa. Dan sekarang mereka berkuasa kembali. Maka tak mengherankan kalau pasal penghinaan akan dihidupkan lagi. Semua itu tak mengejutkan karena iman demokrasi yang dimiliki PDI P setipis rambut dibelah seribu. Ya: Menitipkan kekuasaan pada PDIP seperti menitipkan dendeng pada anjing.

Dan, untuk menghadapi situasi ini pilihannya hanya dua: diam takluk, atau bangkit melawan.***

Lereng Merapi. 10.08.2015

Note:
Tulisan ini pernah dipublikasihan di tikusmerah.com. Kami menyadari, tulisan ini diostkan di blog ini tanpa izin pengurus redaksi tikusmerah.com. Kami minta maaf yang sebesarnya, tetapi blog dibuat untuk kepentingan kita semua. Salam redaksi