Pulau Papua. Foto: Ist |
Oleh: Oktovianus Wanggai
Beberapa kali baca status mengenai ajaran Israel di Papua melalui media sosial, Facebook, Twitter, Linkid, hingga media sosial lainnya, marak dengan timbulnya berbagai kontra dan pro, pasti selalu saja ujung-ujungnya lahirkan konflik adu domba melalui kata demi kata yang dikeluarkan berdasarkan alasan yang mungkin menurut para pengomentar sesuai dengan apa yang dia pikirkan.
Maraknya pro dan kontra yang lahirkan konflik horizontal antara golongan-golongan tertentu pun lahir dengan berbagai versi, diantaranya adalah bagi mereka yang pro terhadap ajaran Israel di Papua dan mereka yang kontra terhadap ajaran Israel di Papua, dan mungkin juga sebaliknya.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan teman-teman saya di kampus, kebetulan kami dikasih mata kuliah rekonsiliasi konflik dan filsafat agama di Indonesia. Dalam diskusi-diskusi tersebut, ada beberapa poin-poin yang sering kami kumpulkan dan itu menjadi bahan untuk kita renungkan sendiri, karena masing-masing dari kami pun juga memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ada yang dari Kristen Katolik, Protestan, juga Islam, kebetulan salah satu teman kami berasal dari Fak-Fak, West Papua.
Poin-poin itu secara umumnya adalah untuk
menunjukan bahwa agama yang sekarang kita anut adalah sebuah organisasi yang
dibuat manusia untuk berjalan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Agama
dalam hal ini mampu memproduksikan sebuah komitmen yang melahirkan sebuah
doktrin yang selalu vertikal yang itu pun menjadi sebuah kebatinan hidup yang
dilakoni oleh manusia yang benar-benar merasakan dan mengaku sudah bersama dan
berkomunikasi secara nyata dengan Tuhan, di tahun ke 2015 ini.Beberapa kali baca status mengenai ajaran Israel di Papua melalui media sosial, Facebook, Twitter, Linkid, hingga media sosial lainnya, marak dengan timbulnya berbagai kontra dan pro, pasti selalu saja ujung-ujungnya lahirkan konflik adu domba melalui kata demi kata yang dikeluarkan berdasarkan alasan yang mungkin menurut para pengomentar sesuai dengan apa yang dia pikirkan.
Maraknya pro dan kontra yang lahirkan konflik horizontal antara golongan-golongan tertentu pun lahir dengan berbagai versi, diantaranya adalah bagi mereka yang pro terhadap ajaran Israel di Papua dan mereka yang kontra terhadap ajaran Israel di Papua, dan mungkin juga sebaliknya.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan teman-teman saya di kampus, kebetulan kami dikasih mata kuliah rekonsiliasi konflik dan filsafat agama di Indonesia. Dalam diskusi-diskusi tersebut, ada beberapa poin-poin yang sering kami kumpulkan dan itu menjadi bahan untuk kita renungkan sendiri, karena masing-masing dari kami pun juga memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ada yang dari Kristen Katolik, Protestan, juga Islam, kebetulan salah satu teman kami berasal dari Fak-Fak, West Papua.
Dalam situasi seperti ini, dengan adanya krisis kepercayaan yang melegitimasikan sebuah pemahaman yang berbeda, antara pro dan kontra yang membenarkan adanya sebuah ajaran berdasarkan apa yang dia lihat dan dia ketahui, tetapi itu tidak secara rasio dan logika berpikir yang baik. Kebetulan, saya juga siring sekali mengikuti apa yang sering menjadi pilihan seorang individu untuk menentukan, ajaran mana yang ingin dia tekuni? kadang berporos dan berpindah dengan dikejarnya situasi yang kadang kalah mencekang, dengan timbulnya ajakan-ajakan baru yang membenarkan diri mereka, bahwa jalan merekalah yang benar, dan kita harus mengikuti mereka.
Berdasarkan apa yang saya dan teman-teman saya diskusikan dan walau pun kami berasal dari agama yang berbeda-beda, kami mengetahui persis, apa yang diteladani dan apa yang ditekuni manusia yang hanya hidup di atas kontra dan pro yang hanya berdiri atas dasar kepentingan masing-masing. Dengan mengatakan, "Ahhh, kam pu ajaran kurang baik, kam harus mengikuti ajaran Israel?", "Ahh, ajaran Israel itu Zionis saja, jang ikuti mereka!", "Ahh, kitong orang katolik bole, protestan boleh", dan lain-lainya. Hingga yang fanatik-fanatik karena doktrin yang terlalu berlebihan, hingga penolakan demi penolakan yang distigmakan sebagai utopis sebuah kebenaran yang salah itu pun muncul.
Perlu kita pahami, bahwa agama adalah sebuah lembaga organisasi religi yang tidak bisa kita samakan dengan sebuah kepercanaan dan kita katakan "Sa pu kepercayaan adalah protestan, dan sa harus patut kepada protestan" atau pun sebaliknya, kita tidak bisa katakan seperti demikian.
Kalau memang seperti demikian? kenapa kita harus mengkikuti ajaran Yesus sebagai Sang Juru Selamat Manusia menurut orang Protestan dan Katolik, dan atau pun Islam sebagai Nabi Isa. Agama perlu kita harus pahami, agama kita tidak bisa samakan dengan kepercayaan dan organisasi gerejani.
Untuk menekan dan mempertahankan kepercayaan dan keyakinan yang ditamengkan melalui agama, banyak sekali terjadi kontraversi dan konflik yang melahirkan berbagai macam keidentikan negara dan organisasi yang dibangun berdasarkan kepentingan itu sendiri. Maraknya konflik antar negara yang disebabkan oleh adanya kepentingan negara dengan memayoritaskan masyarakatnya untuk menganut satu kepercayaan. Misalnya sebuah misi besar yang dilakukan oleh ISIS, kelompok yang bersenjata lengkat, dengan memiliki misi yang besar untuk menguasai sebuah komponen berdasarkan agama dan kepercayaan tersendiri.
Terlalu jauh, kita lihat masalah di Indonesia antara Pulau Jawa, Pulau Papua, hingga pulau-pulau yang lainnya. Di Ambon, kota Poso, beberapa tahun yang lalu terjadi konflik yang melampiaskan pembunuhan yang sangat kejam terjadi. Antara penganut Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan) terjadinya pembunuhan secara masal, hingga korban yang berjatuhan pun lebih 300-an orang disana.
Dari sinilah kita bisa melihat bahwa kepentingan agama yang terlalu berlebihan, kritik Karl Marx bahwa,agama hanya sebuah candu masyarakat. Terhadap Agama tepat pada dampak yang benar-benar meledak sama seperti konflik-konflik yang terjadi.
Kita bisa pahami, seorang Filsuf, Max Weber dalam bukunya "Etika Protestan dan Kapitalis" melegitimasikan dan meluruskan apa yang menjadi patokan Marx terhadap kritik Agama. Tetapi mereka bukan manusia yang tidak memiliki keyakinan terhadap Sang Pencipta.
Sekarang, agama marak dengan terbangunnya organisasi sosial yang mau disamakan dengan agama. Cukup jelas bahwa, agama dan organisasi mengarahkan apa yang menjadi sebuah kebenaran yang keliru yang kita perjuangkan sebagai sebuah ilahi hidup manusia.
Pada intinya bahwa, kita tidak bisa samakan hidup kita dengan dan kepercayaan kita dengan agama yang kita anut, begitu pun juga dengan organisasi sosial atau pun lainnya. Agama yang mentamengkan organisasi ini yang kadang kita salah persepsi, maka, analisis itu dibutuhkan, jangan sampai kita jatuh dengan doktrin yang berlebihan dan menimbulkan kontraversi antara umat beragama di Papua.
Pertanyaan ini muncul seketika ketidaksalahpahaman itu muncul dengan momok yang menakutkan. Saya berdiskusi dengan teman-teman saya bahwa, untuk masalah jalan kebenaran, ada di kita sendiri, bukan dari siapa-siapa. Agama yang kita anut, harus mampu membuat kita jalani hidup ini dengan baik dan aman, sesuai dengan ajaran apa yang kita anut.
#Selesai
Penulis adalah mahasiswa Filsafat di Jayapura, West Papua, yang tidak selesai-selesai sudah hampir 10 tahun.
Gambar Pulau West Papua, sumbernya dari internet.
Tujuan gambar ini, sederhana saja, sebagai bentuk penyatuan dan transform yang menyatukan agama di Papua, walau dengan adanya berbagai agama yang berbeda-beda. Supaya kita adalah kita satu "West Papua"
#FreeWestPapua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar