Oleh:
Fadhal Heger
Bermula dan berangkat dari persoalan konflik yang belum juga usai
dengan sebuah perspektif yang berbeda dengan jalan perjuangan yang sudah ada
dan mungkin menjadi sebuah pengantar yang bisa membantu kita untuk
merekonsiliasi persoalan ini dengan cara yang berbeda, yaitu dengan
mentransformasikan agama sebagai sebuah wadah api perlawanan berusaha
meluruskan dan mengkritisi garis perjuangan ini dengan kaca mata yang berbeda.
Agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyelesaikan
persoalan bangsa, tetapi bagaimana di tengah-tengah multi agama yang sudah
terbangun di Papua itu menjadi sebuah wadah, biar tidak bias melihat persoalan
dengan kaca mata yang sama. Peran gereja sangat dibutuhkan begitu juga peran
umat beragama lainnya, seperti Hindu, Budha dan Islam yang merjalelah di Papua.
Transformasi
Agama dan Rekonsiliasi
Transformasi Agama sendiri terdiri dari dua kata, yaitu
Transformasi dan Agama atau religi. Kedua
kata ini saling berpisah tetapi memiliki kesamaan yang ekstrim dalam
mengtransformasi dan mengagama, keduanya menjadi sebuah kata yang mungkin akan
menjawab pertanayan diatas sebagai transformasi agama pada nilai integrasi
sosial masyarakat.
Secara mendasar transformasi adalah sebuah proses perubahan secara
berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate,
perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur
eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah
dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau
melipatgandakan. [1] Transformasi digambargan
sebagai sebuah legitimasi suatu proses perubahan secara berangsur-angsur
sebagai bentuk masyarakat yang dalam proses mencapainya suatu persatuan itu
sendiri. Secara nyata transformasi sangatlah dibutuhkan dalam masyarakat yang
merindukan adanya sebuah rekonsiliasi dan integrasi.
Transformasi menjadi sebuah perubahan yang juga identik dengan
sebuah proses yang sedikit mendetail sebagai sebuah proses perubahan sosial
masyarakat secara implisit karena legititimasi sebagai transformasi ada
kaitannya dengan suatu integrasi. Misalnya toleransi umat beragama. Telerans
umat beragama adalah sebuah upaya transformasi agama sebagai suatu kesatuan
dalam sistem religi.
Ada juga faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi, [2] yaitu sebagai berikut: (1). Kebutuhan identitas
diri (identification) pada dasarnya
orang ingin dikenal, (2). Perubahan gaya hidup (Life Style) perubahan
struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya
penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkuangannya, (3). Pengaruh
teknologi baru timbulnya perasaan ikut mode, dimana bagian yang masih dapat
dipakai secara teknis belum mencapai umur teknis dipaksa untuk diganti demi
mengikuti mode. Tiga faktor erat transformasi
yang akan membantu sebuah proses perubahan sebagaimana mestinya perubahan
itu sebagai loyalitas dan integrasi sebagai masyarakat yang multikultur dalam
rana kehidupan manusia.
Agama menurut KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti
"tradisi". Kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. [3]
Tak kalah mendasar, menurut Karl Marx adalah agama sebagai
candu masyarakat. Marx dengan jelas
menyatakan dia tidak menolak agama, melainkan menolak suatu sistem yang
mengandung ilusi-ilusi agama.[4] Agama menurut
Marx sebagai sebuah candu masyarakat yang membangunkan ketidakpuasan seseorang
dalam beragama, apa lagi orang yang bekerja tanpa mementingkan orang banyak
sebagai sebuah sistem sosial. Agama menurut Marx menjadi sebuah pokok dalam
permasalahan sosial masyarakat, tetapi secara prinsipilnya, Marx tidak menolak
agama sebagai sebuah sistem kepercayaannya.
Sekarang bagaimana dengan rekonsiliasi
itu diartikan sebagai sebuah wahana dimana tranformasi agama menjadi wadah
pemecahan persoalan yang didasarkan pada teori di atas. Sebelum masuk lebih
jauh, mengartikan rekonsiliasi, semestinya kita tahu bahwa rekonsiliasi menjadi
sesuatu yang sangat penting dan menjadi perangkan dan pokok penyelesaisn
persoalan hingga pada inti dari sebuah masalah itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), rekonsiliasi diartikan sebagai perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pd keadaan semula; perbuatan
menyelesaikan perbedaan. [6] Rekonsiliasi pada
prinsipnya mengarahkan persoalan dalam proses penyelesaian masalah hingga
mencari akar persoalan yang sedang terjadi hingga substansi yang ingin capai
seperti demikian.
Konflik Papua
Berbicara tentang konflik
Papua secara realita sosial, politik, hingga berbagai bidang lainnya di Papua
menjadi sebuah permasalahan yang sangat serius. Konflik sering kali kita
terjemahkan dengan sebuah pertikaian atau kekerasan yang terjadi, entah apa pun
bentuknya. Tetapi pada dasarnya konflik adalah hanya ada pada sebuah
pertentangan yang dilihat dari perspektif yang kehidupan yang diartikan juga
dengan perselisian antara individu maupun kelompok sosial masyarakat.
Lebih lanjut, konflik
Papua dalam konteks ini memberikan jawaban bahwa semua persoalan Papua lahir
dengan adanya sebuah penjajahan baru melalui kehidupan manusia di segala lini. Terpelas
dari itu, akibat dari lahirnya konflik yang berkepanjangan hingga sampai saat
ini, pembangunan Papua menuju kesejahteraan masyarakat yang lumrah dan penuh
dengan kedamaian secara umumnya.
Pepera 1969 menjadi
sejarah kelam bangsa Papua setelah masuk ke dalam NKRI. Trauma kekerasan dan
ingatan-ingatan terus bergulir dengan berbagai kepentingan pemerintah dalam hal
ini pemerintah pusat. Sekarang bagaimana degan sekarang? Konflik itu semakin
hari kian meningkat dengan lahirnya elit politik Papua yang berbicara
kemanusiaan dan HAM dengan ideologi yang berbeda-beda dan setara dengan
pencaharian identitas orang asli Papua secara menyeluruh.
Dibenarkan bawah, secara
realita konflik itu timbul dengan adanya penjajahan yang secara tidak langsung
kita sendiri orang asli Papua tidak menyadari akan hal tersebut. Hanya saja,
kepentingan pemerintah yang sering menjadikan stigma-stigma yang berbeda dan
bertentangan dengan sebuah ideologi orang Papua, bahwa identitasnya sebagau
bangsa yang dijajah mampu membenarkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Papua
itu sendiri.
Transformasi Agama dan Rekonsiliasi Konflik
Beberapa waktu lalu, 8
Desember 2014, tragedi kemanusiaan penembakan 5 warga sipil di Paniai terjadi. Yang
korban dari penembakan adalah orang asli Papua, juga ketiganya adalah murni
siswa SMA. Penembakan terjadi dilakukan oleh aparat negara dalam hal ini adalah
Militer Indonesia (TNI/POLRI) yang brutal secara membabibuta orang Papua pada
saat ini.
Sehari berselang,
mahasiswa Papua yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Papua (FMP) Yogyakarta
menggelar aksi damai menuntut kepada pemerintah Jokowi-JK yang pada saat itu
berkunjung di Yogyakarta.
Bergilur terus, rencana
Jokowi akan natalan di Papua pada tanggal 27 Desember 2014 lalu. Sejumah
pimpinan gereja yang tergabung dalam Forum Oikumens Gereja-Gereja Papua, dalam
seruan moralnya, dengan tegas menolak rencana kedatangan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) untuk menghadiri perayaan natal nasional di Jayapura, Papua, pada 27
Desember 2014 mendatang.
Seruan moral ini
disampaikan secara tegas oleh Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua,
Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP),
Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dan pendeta senior di lingkungan Gereja Kristen
Injili (GKI) Papua, Pdt. Selvi Titihalawa, saat memberikan keterangan pers di
P3W, Padang Bulan, Jayapura, Papua, Kamis (11/12/2014). [6]
Menurut Benny Giay, “Rakyat Papua sedang berduka karena pembantaian di Paniai,
sedangkan Jokowi ingin merayakan natal di Jayapura dengan habiskan dana puluhan
miliar, damai apa yang Jokowi mau bawa, kami dengan tegas menolak kedatangan Jokowi
di Papua.”
Secara teoritis ilmu
pengetahuan kita meyakini transformasi menjadi pintu sebuah perdamaian yang
ambigu terhadap sistem masyarakat yang mampu mencari jalan keluar tertentu. Secara
sepantasnya, seruan moral bisa dibenarkan karena, kalau kehidupan masyarakat
kita bisa bilang, “Siapa lagi yang mau bicara?” pertanyaan ini yang kerap bisa
kita benarkan dalam paragma agama dan pembelahan masyarakat secara menyeluruh,
terutama kaum korban yang menunggu kapan akan selesai persoalan ini.
Sekarang yang jadi
pertanyaannya adalah, “Kenapa masih bawahkan agama dalam menyelesaikan
persoalan?”. Pertanyaan ini yang bisa kita pahami, peran transformasi yang
kadang kita keliru memahaminya. Secara realita di tanah Papua, agama yang
dianut orang Papua adalah, Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Di Indonesia,
konflik umat beragama sampai saat ini belum juga kunjung usai, karena pemahamannya,
Indonesia adalah negara yang mayoritasnya Islam dan negara ini harus berinisial
Islam dalam semua lini kehidupan. Mungkin ini menjadi sebuah contoh yang keliru
kita memahami persoalan dengan kasat mata agama.
Sekarang antisipasi
persoalan Papua melalui agama sendiri, bagaimana transformasi agama itu menjadi
peran penting orang asli Papua memegang teguh persoalan yang ada. Sekarang stigma
yang sedang terbangun di Papua adalah, Pulau Papua adalah pulau yang dimiliki
oleh umat Kristen. Karena memang mayoritasnya adalah orang Kristen
(Protestan/Katolik). Secara rasional ini adalah stigma yang salah dan akan
menimbulkan persoalan baru melalui agama itu sendiri. Agama menjadi tombak
penyelesaian masalah, tetapi peran agama itu yang perlu kita pahami sebaik
mungkin.
Beberapa waktu lalu saya
sempat menonton film dokumenter oleh PapuanVoices.com
tentang “Muslim Voices For Peace” di atas tanah Papua. Dalam video tersebut, [7]
kita belajar bagaimana disorganisasi itu sudah mulai nampak di antra umat
beragama sendiri. Bahwa persoalan Papua harus dipahami dengan kaca mata yang
sama kalau dibawakan berdasarkan kaca mata agama. Karena muslim Papua juga
menjadi korban atas persoalan besar yang terjadi di atas tanah Papua.
Sekarang bagaimana dengan
transformasi agama? Transformasi Agama perlu kita pahami dengan tidak
mengatasnamakan agama dalam mengambil sikap yang tidak menyinggung beberapa
pihak. Misalnya kasus penembakan di Paniai kemarin, semua lembaga agama di
Papua harus terlibat dalam satu kesatuan untuk memecahkan persoalan yang ada.
Penulis adalah pengamat agama-agama di Papua, tinggal di Fak-Fak
Daftar isi
[1]. Pengertian Transformasi, yang
diakses dari website Universitas Negeri Gorontalo (UNG) (http://eprints.ung.ac.id/257/3/2013-2-87201-231409016-bab2-09012014011546.pdf)
[3]. Faktor-faktor terjadinya transformasi, Habraken, 1976 yang
dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar.itb.ac.id/wdp /diakses
pada tanggal 11 November 2013).
[4]. Depdiknas. 2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pusaka (hal: 170)
[5]. Ritzer George. 2012. Teori
Sosiologi Klasik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar (117)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar