Rabu, 25 Februari 2015

Transformasi Agama dan Rekonsiliasi Konflik di Papua

Oleh: Fadhal Heger

Bermula dan berangkat dari persoalan konflik yang belum juga usai dengan sebuah perspektif yang berbeda dengan jalan perjuangan yang sudah ada dan mungkin menjadi sebuah pengantar yang bisa membantu kita untuk merekonsiliasi persoalan ini dengan cara yang berbeda, yaitu dengan mentransformasikan agama sebagai sebuah wadah api perlawanan berusaha meluruskan dan mengkritisi garis perjuangan ini dengan kaca mata yang berbeda.

Agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyelesaikan persoalan bangsa, tetapi bagaimana di tengah-tengah multi agama yang sudah terbangun di Papua itu menjadi sebuah wadah, biar tidak bias melihat persoalan dengan kaca mata yang sama. Peran gereja sangat dibutuhkan begitu juga peran umat beragama lainnya, seperti Hindu, Budha dan Islam yang merjalelah di Papua.


Transformasi Agama dan Rekonsiliasi

Transformasi Agama sendiri terdiri dari dua kata, yaitu Transformasi dan Agama atau religi. Kedua kata ini saling berpisah tetapi memiliki kesamaan yang ekstrim dalam mengtransformasi dan mengagama, keduanya menjadi sebuah kata yang mungkin akan menjawab pertanayan diatas sebagai transformasi agama pada nilai integrasi sosial masyarakat.

Secara mendasar transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan. [1] Transformasi digambargan sebagai sebuah legitimasi suatu proses perubahan secara berangsur-angsur sebagai bentuk masyarakat yang dalam proses mencapainya suatu persatuan itu sendiri. Secara nyata transformasi sangatlah dibutuhkan dalam masyarakat yang merindukan adanya sebuah rekonsiliasi dan integrasi.

Transformasi menjadi sebuah perubahan yang juga identik dengan sebuah proses yang sedikit mendetail sebagai sebuah proses perubahan sosial masyarakat secara implisit karena legititimasi sebagai transformasi ada kaitannya dengan suatu integrasi. Misalnya toleransi umat beragama. Telerans umat beragama adalah sebuah upaya transformasi agama sebagai suatu kesatuan dalam sistem religi.

Ada juga faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi, [2] yaitu sebagai berikut: (1). Kebutuhan identitas diri (identification) pada dasarnya orang ingin dikenal, (2). Perubahan gaya hidup (Life Style) perubahan struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkuangannya, (3). Pengaruh teknologi baru timbulnya perasaan ikut mode, dimana bagian yang masih dapat dipakai secara teknis belum mencapai umur teknis dipaksa untuk diganti demi mengikuti mode. Tiga faktor erat transformasi  yang akan membantu sebuah proses perubahan sebagaimana mestinya perubahan itu sebagai loyalitas dan integrasi sebagai masyarakat yang multikultur dalam rana kehidupan manusia.
Agama menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. [3]

Tak kalah mendasar, menurut Karl Marx adalah agama sebagai candu  masyarakat. Marx dengan jelas menyatakan dia tidak menolak agama, melainkan menolak suatu sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama.[4] Agama menurut Marx sebagai sebuah candu masyarakat yang membangunkan ketidakpuasan seseorang dalam beragama, apa lagi orang yang bekerja tanpa mementingkan orang banyak sebagai sebuah sistem sosial. Agama menurut Marx menjadi sebuah pokok dalam permasalahan sosial masyarakat, tetapi secara prinsipilnya, Marx tidak menolak agama sebagai sebuah sistem kepercayaannya.

Sekarang bagaimana dengan rekonsiliasi itu diartikan sebagai sebuah wahana dimana tranformasi agama menjadi wadah pemecahan persoalan yang didasarkan pada teori di atas. Sebelum masuk lebih jauh, mengartikan rekonsiliasi, semestinya kita tahu bahwa rekonsiliasi menjadi sesuatu yang sangat penting dan menjadi perangkan dan pokok penyelesaisn persoalan hingga pada inti dari sebuah masalah itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rekonsiliasi diartikan sebagai perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pd keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. [6] Rekonsiliasi pada prinsipnya mengarahkan persoalan dalam proses penyelesaian masalah hingga mencari akar persoalan yang sedang terjadi hingga substansi yang ingin capai seperti demikian.

Konflik Papua

Berbicara tentang konflik Papua secara realita sosial, politik, hingga berbagai bidang lainnya di Papua menjadi sebuah permasalahan yang sangat serius. Konflik sering kali kita terjemahkan dengan sebuah pertikaian atau kekerasan yang terjadi, entah apa pun bentuknya. Tetapi pada dasarnya konflik adalah hanya ada pada sebuah pertentangan yang dilihat dari perspektif yang kehidupan yang diartikan juga dengan perselisian antara individu maupun kelompok sosial masyarakat.

Lebih lanjut, konflik Papua dalam konteks ini memberikan jawaban bahwa semua persoalan Papua lahir dengan adanya sebuah penjajahan baru melalui kehidupan manusia di segala lini. Terpelas dari itu, akibat dari lahirnya konflik yang berkepanjangan hingga sampai saat ini, pembangunan Papua menuju kesejahteraan masyarakat yang lumrah dan penuh dengan kedamaian secara umumnya.

Pepera 1969 menjadi sejarah kelam bangsa Papua setelah masuk ke dalam NKRI. Trauma kekerasan dan ingatan-ingatan terus bergulir dengan berbagai kepentingan pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat. Sekarang bagaimana degan sekarang? Konflik itu semakin hari kian meningkat dengan lahirnya elit politik Papua yang berbicara kemanusiaan dan HAM dengan ideologi yang berbeda-beda dan setara dengan pencaharian identitas orang asli Papua secara menyeluruh.

Dibenarkan bawah, secara realita konflik itu timbul dengan adanya penjajahan yang secara tidak langsung kita sendiri orang asli Papua tidak menyadari akan hal tersebut. Hanya saja, kepentingan pemerintah yang sering menjadikan stigma-stigma yang berbeda dan bertentangan dengan sebuah ideologi orang Papua, bahwa identitasnya sebagau bangsa yang dijajah mampu membenarkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Papua itu sendiri.

Transformasi Agama dan Rekonsiliasi Konflik

Beberapa waktu lalu, 8 Desember 2014, tragedi kemanusiaan penembakan 5 warga sipil di Paniai terjadi. Yang korban dari penembakan adalah orang asli Papua, juga ketiganya adalah murni siswa SMA. Penembakan terjadi dilakukan oleh aparat negara dalam hal ini adalah Militer Indonesia (TNI/POLRI) yang brutal secara membabibuta orang Papua pada saat ini.

Sehari berselang, mahasiswa Papua yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Papua (FMP) Yogyakarta menggelar aksi damai menuntut kepada pemerintah Jokowi-JK yang pada saat itu berkunjung di Yogyakarta.

Bergilur terus, rencana Jokowi akan natalan di Papua pada tanggal 27 Desember 2014 lalu. Sejumah pimpinan gereja yang tergabung dalam Forum Oikumens Gereja-Gereja Papua, dalam seruan moralnya, dengan tegas menolak rencana kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghadiri perayaan natal nasional di Jayapura, Papua, pada 27 Desember 2014 mendatang.

Seruan moral ini disampaikan secara tegas oleh Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP), Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dan pendeta senior di lingkungan Gereja Kristen Injili (GKI) Papua, Pdt. Selvi Titihalawa, saat memberikan keterangan pers di P3W, Padang Bulan, Jayapura, Papua, Kamis (11/12/2014). [6] Menurut Benny Giay, “Rakyat Papua sedang berduka karena pembantaian di Paniai, sedangkan Jokowi ingin merayakan natal di Jayapura dengan habiskan dana puluhan miliar, damai apa yang Jokowi mau bawa, kami dengan tegas menolak kedatangan Jokowi di Papua.”

Secara teoritis ilmu pengetahuan kita meyakini transformasi menjadi pintu sebuah perdamaian yang ambigu terhadap sistem masyarakat yang mampu mencari jalan keluar tertentu. Secara sepantasnya, seruan moral bisa dibenarkan karena, kalau kehidupan masyarakat kita bisa bilang, “Siapa lagi yang mau bicara?” pertanyaan ini yang kerap bisa kita benarkan dalam paragma agama dan pembelahan masyarakat secara menyeluruh, terutama kaum korban yang menunggu kapan akan selesai persoalan ini.

Sekarang yang jadi pertanyaannya adalah, “Kenapa masih bawahkan agama dalam menyelesaikan persoalan?”. Pertanyaan ini yang bisa kita pahami, peran transformasi yang kadang kita keliru memahaminya. Secara realita di tanah Papua, agama yang dianut orang Papua adalah, Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Di Indonesia, konflik umat beragama sampai saat ini belum juga kunjung usai, karena pemahamannya, Indonesia adalah negara yang mayoritasnya Islam dan negara ini harus berinisial Islam dalam semua lini kehidupan. Mungkin ini menjadi sebuah contoh yang keliru kita memahami persoalan dengan kasat mata agama.

Sekarang antisipasi persoalan Papua melalui agama sendiri, bagaimana transformasi agama itu menjadi peran penting orang asli Papua memegang teguh persoalan yang ada. Sekarang stigma yang sedang terbangun di Papua adalah, Pulau Papua adalah pulau yang dimiliki oleh umat Kristen. Karena memang mayoritasnya adalah orang Kristen (Protestan/Katolik). Secara rasional ini adalah stigma yang salah dan akan menimbulkan persoalan baru melalui agama itu sendiri. Agama menjadi tombak penyelesaian masalah, tetapi peran agama itu yang perlu kita pahami sebaik mungkin.

Beberapa waktu lalu saya sempat menonton film dokumenter oleh PapuanVoices.com tentang “Muslim Voices For Peace” di atas tanah Papua. Dalam video tersebut, [7] kita belajar bagaimana disorganisasi itu sudah mulai nampak di antra umat beragama sendiri. Bahwa persoalan Papua harus dipahami dengan kaca mata yang sama kalau dibawakan berdasarkan kaca mata agama. Karena muslim Papua juga menjadi korban atas persoalan besar yang terjadi di atas tanah Papua.

Sekarang bagaimana dengan transformasi agama? Transformasi Agama perlu kita pahami dengan tidak mengatasnamakan agama dalam mengambil sikap yang tidak menyinggung beberapa pihak. Misalnya kasus penembakan di Paniai kemarin, semua lembaga agama di Papua harus terlibat dalam satu kesatuan untuk memecahkan persoalan yang ada.

Penulis adalah pengamat agama-agama di Papua, tinggal di Fak-Fak

Daftar isi

[1]. Pengertian Transformasi, yang diakses dari website Universitas Negeri Gorontalo (UNG) (http://eprints.ung.ac.id/257/3/2013-2-87201-231409016-bab2-09012014011546.pdf)

[3]. Faktor-faktor terjadinya transformasi, Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar.itb.ac.id/wdp /diakses pada tanggal 11 November 2013).

[4]. Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pusaka (hal: 170)

[5]. Ritzer George. 2012. Teori Sosiologi Klasik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar (117)


[7]. Lihat di: https://www.youtube.com/watch?v=9Ge-h-0flEc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar