Jumat, 07 November 2014

Apa itu Teori

Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono


Tak mungkin berubah begitu saja tanpa kita mau berusaha, tak ada perjuangan yang sia-sia yakinlah penindas pasti binasa.” (Red Flag)

Seorang teman baikku (seorang akademisi dari sebuah universitas di Yogyakarta) dalam suatu diskusi dengan diriku pernah melontarkan sebuah argumen yang membuat benakku harus menyanggah lontarannya tersebut, karena menurutku lontarannya tersebut bermuatan arus (mainstream) pemikiran borjuis dan elitis yang menjauh dari kepentingan massa rakyat. Aku melihat argumen teman baikku itu mengespresikan adanya retakkan antara teori dan kepentingan untuk berpraksis, kepentingan massa rakyat dalam membangun pikiran kritis dan aksi mengubah dunia.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi lontaran dari teman baikku itu, tulisan ini aku buat untuk diposisikan sebagai anti tesis dalam tradisi dialektika-Marxis, demi untuk menghancurkan sekaligus membangun sesuatu demi menciptakan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya (ambarbinangun: bar ambyar njur dibangun). Berangkat dari sini, maka izinkanlah aku untuk ber-anti tesis ria dengan dirimu (pikiranmu), wahai teman baikku.


Temanku mengatakan bahwa sebuah teori baru bisa dikatakan teori apabila dia memenuhi 3 syarat minimal. Apakah syarat minimal itu? Pertama, teori harus mengalami uji coba yang panjang, dan yang Kedua, sebuah teori harus diakui secara universal, dan Ketiga sebuah teori harus netral—tidak memihak. Sayangnya temanku ini tidak memberikan argumen tentag definisi teori, dia hanya mengemukakan 3 syarat minimal itu saja. Tidak diberikannya definisi terhadap teori ini, menurutku, adalah tindakan yang sangat fatal (kalau tidak ingin dibilang konyol) karena hal itu akan menyeret orang pada kebingungan terhadap pengertian dari teori itu sendiri.

Untuk kepentingan menguji lontaran dari teman baikku itu, menurut diriku perlu untuk melakukan pendefinisian teori sebagai titik tolak membongkar ideologi yang bersembunyi dibalik argumentasi yang dilontarkan oleh teman baikku itu.

Dalam pandanganku teori itu tidak lebih dari sebuah alat analisis atau sering juga diistilahkan dengan pisau analisis yang harus terintegrasi dengan kepentingan rakyat tertindas. Jadi, teori itu harus memihak, memihak pada kepentingan rakyat tertindas, tidak netral. Konkretnya begini, teori adalah sebuah alat untuk menjelaskan sesuatu secara rasional dan memihak. Berangkat dari sini, maka dapatlah dikatakan bahwa orang yang sedang berpikir secara teoritis adalah orang yang sedang memberikan penjelasan rasional terhadap obyek yang berada di luar dirinya dan buah dari pemikirannya tersebut diabdikan untuk membebaskan manusia dari ancaman dan kondisi yang menindas. Baiklah, untuk lebih mengkonkretkan lagi definisi teori yang aku bacotkan ini aku akan menjelaskannya dalam bentuk peristiwa berikut ini:

Misalnya dibenak kita muncul pertanyaan (setelah mengamati suatu obyek) begini, mengapa gunung merapi meletus? Ada dua jawaban yang bisa menjelaskan peristiwa itu, yang Pertama penjelasan yang bersifat mistis nir-rasional, dan jawaban Kedua bersifat materiil-rasional. Jawaban mistis misalnya karena Kyai Sapu Jagat sedang berahi (konak/horni/ngaceng) dan kemudian dia bersetubuh (ngentot) dengan Nyai Roro Kidul dan dari persetubuhannya itulah, maka Kyai Sapu Jagat memuncratkan spermanya dalam bentuk letusan gunung merapi. STOP! Tulisan ini tidak berurusan dengan jawaban yang bersifat mistis seperti itu, tulisanku ini hanya sudi-mengakui jawaban yang bersifat materiil-rasional..!! TEGAS AKU KATAKAN BAHWA JAWABAN YANG BERSIFAT MISTIS BUKAN JAWABAN YANG BERSIFAT TEORITIS KARENA TIDAK MEREFLEKSIKAN AKAL SEHAT. Jawaban materiil-rasional memberikan penjelasan bahwa letusan gunung merapi itu adalah fenomena alam yang menandakan bahwa magma yang ada di dalam perut bumi yang tersumbat oleh batu besar berhasil mendesak dan mendorong dirinya keluar. Keberhasilan magma mendesak, mendorong, dan kemudian keluar dari perut bumi inilah yang menyebabkan sebuah gunung merapi meletus. Jawaban-penjelasan secara materiil-rasional seperti inilah yang dinamakan dengan TEORI.

Teori yang hadir untuk menjelaskan fenomena alam itu sebenarnya merupakan refleksi dari sikap pikiran setelah mengamati hal-hal yang bersifat materiil (keterancaman dan terjadinya “penindasan” alam terhadap manusia). Terus apa hubungannya dengan kepentingan massa rakyat? Sudah jelas teori itu bermanfaat bagi massa rakyat untuk mengambil tindakan-tindakan rasional (baca: merubah prilaku) dalam membaca tanda-tanda alam demi menyelamatkan diri dari amukan letusan gunung merapi yang menindas. Inilah relevansi teori dengan kepentingan massa rakyat. Jadi, tidak terjadi retakan antara teori dengan massa rakyat.

Teori yang lahir dari pengamatan materiil tersebut, dalam perkembangannya, tidak hanya berhenti pada ranah ilmu-ilmu alam tetapi kemudian berkembang pada ranah ilmu-ilmu sosial sejalan dengan berkembangnya modus produksi manusia. Sama seperti halnya dengan ilmu alam, ilmu sosial pun bergerak dan berkembang mengkuti dinamika kepentingan massa rakyat. Namun, harus digaris bawahi bahwa pergerakan dan perkembangan teori ini tidak berada di ruang kosong, dalam pergerakan dan perkembangannya dia harus berhadap-hadapan secara dialektis dengan penemuan-penemuan baru dari massa rakyat. INILAH UJIAN YANG TERPENTING DARI SEBUAH TEORI: UJIAN TERHADAP PENEMUAN BARU DARI MASSA RAKYAT…!! BUKAN UJIAN DALAM BENTUK DIA (TEORI) HARUS DIPERDEBATKAN SECARA AKADEMIS DAN KEMUDIAN JIKA LOLOS AKAN MENDAPATKAN HADIAH NOBEL (atau lulus dalam ujian skripsi, tesis, atau disertasi secara formal yang menandakan bahwa dirinya telah berhasil-selesai mengenyam pendidikan ala borjuis). DAN KARENA TELAH DIUJI SECARA AKADEMIS, MAKA DIA BERHAK UNTUK MENYANDANG TEORI UNIVERSAL. Sungguh sebuah pemahaman yang keliru!

Tidak berhenti sampai di sini: Ujian dari massa rakyat ini pun tidak bersifat statis, artinya ujian yang hanya muncul dari perenungan di atas menara gading, tetapi ujian ini lahir dari proses yang bersifat materialis-historis, artinya teori terlahir dan kemudian terbangun karena dinamika dari perjuangan kelas. Inilah argumenku yang bertentangan dengan argumen teman baikku itu. Jika temanku itu menganggap teori terpisah dari perjuangan kelas (netral-tidak memihak), maka aku dengan tegas menggariskan bahwa teori harus lahir dan terbangun dari terjadinya pertarungan antara kelas penindas dan kelas yang ditindas. Jika teori tidak lahir dari perjuangan kelas, maka sebuah teori hanyalah berposisi sebagai budak bagi kepentingan kelas penindas, misalnya teori yang dilontarkan oleh Talcott Parsons dan Robert K. Merton—Fungsionalisme-Struktural—yang berusaha menyumbat perjuangan kelas demi kemapanan kelas borjuis (penindas).

Yoi Pace! Pertarungan antar teori di ranah pegerakan dan perkembangan ilmu pengetahuan, berangkat dari apa yang sudah aku sampaikan tersebut, sebenarnya merupakan ekspresi dari pertarungan kelas penindas versus kelas yang tertindas. Dan berangkat dari sini, dapatlah pula dipahami bahwa teori adalah refleksi dari basis (hubungan produksi) yang saling bertarung. Artinya untuk melanggengkan hubungan produksi yang menindas hal itu tidak saja memunculkan teori yang membudak pada kelas penindas, tetapi hal itu juga berdampak pada lahirnya teori yang merupakan refleksi dari kekuatan yang berusaha “merontokan” hubungan produksi yang menindas tersebut. Misalnya untuk melawan teorinya Adam Smith yang memberikan legitimasi terhadap penindasan model kapitalisme, maka lahirkan teori yang berkepentingan membebaskan massa rakyat tertindas (proletariat): Marxisme.
SEKALI LAGI PENULIS GARISKAN SECARA TEGAS BAHWA TEORI ADALAH SEBUAH ALAT UNTUK MENJELASKAN SESUATU SECARA RASIONAL DAN BERWATAK MEMIHAK. TEORI YANG TIDAK MEMIHAK ADALAH TEORI YANG BERUSAHA UNTUK MEMBANGUN KESADARAN PALSU.

Sebuah teori agar menjadi teori tidak perlu diuji secara akademis yang kemudian dari situ dia menyandang “pangkat/jabatan [elite]” universal dan tidak memihak, namun keharusan yang wajib (tidak boleh tidak..!!) dijalani adalah ujian yang menguji dia mampu atau tidak untuk membebaskan massa rakyat yang terperangkap dalam kesadaran palsu dan kemudian membangkitkan kesadaran untuk berlawan?! Berangkat dari sini, maka sebuah lembaga pendidikan bukanlah lembaga tempat orang adu bacot tetapi merupakan medan bagi bertarungnya ideologi penindas (kapitalis) dengan pihak yang tertindas (proletar). Dan, lembaga-lembaga pendidikan itu tidak hanya ada di ruang-ruang kelas yang sejuk, nyaman dengan dosen-dosen dan mahasiwa/mahasiswinya bepenampilan sok bersih, perlente (tampak gagah (bagus, apik, tampan, rapi, necis); suka berpakaian rapi), glamor dan bergaya borjuis tetapi juga ada di tempat-tempat kaum tertindas diperlakukan tidak adil, diperas/dihisap tenaga kerjanya.

Catatan: Jika ingin mendapatkan penjelasan (teori) komprehensif terhadap terjadinya penindasan yang terjadi dalam sistem kapitalisme dan bagaimana kapitalisme melanggengkannya, menurut penulis, kaum tertindas harus mempelajari teori-teori Marxis. Tidak hanya berhenti memberikan penjelasan, tetapi teori-teori Marxis akan menuntun kaum tertindas untuk membebaskan dirinya dari kondisinya yang tertindas. Jadi, Marxisme bukanlah dogma tetapi merupakan alat penjelas dan penuntun untuk melakukan perubahan sosial yang berpihak pada kepentingan kaum tertindas.

Kepentingan utama bagi kaum tertindas dan kaum intelektual mempelajari ajaran-ajaran Marxis adalah untuk merubah keadaan bukan untuk menopang hubungan produksi yang bersifat menindas, apalagi hanya untuk kesenangan atau gagah-gahanan. Dan harus diingat bahwa usaha untuk mempelajari Marxis hanyalah salah satu usaha saja untuk memahami terjadinya penindasan. Dan, karena merupakan salah satu usaha, dia harus diperlengkapi dengan usaha-usaha lainnya, yakni gerakan berlawan. Karena tanpa adanya gerakan berlawan, nasib tidak akan berubah begitu saja, teori hanya berhenti sebagai teori, bahkan jika teori didiamkan begitu saja dan hanya dijadikan kesenangan intelektual, maka teori akan membusuk (dimandulkan peranan revolusionernya oleh orang bersangkutan, orang yang paham teori).

Karl Marx pernah berkata bahwa teori bukanlah sesuatu untuk bersenang-senang, tetapi alat untuk melakukan suatu perubahan (Karl Marx dalam Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001). Karl Marx pun juga pernah berkata dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Tesis on Feuerbach” bahwa selama ini para filsuf (pemikir/penteori-pen.) hanya berpikir tentang dunia tidak berpikir bagaimana untuk mengubah dunia padahal kepentingan utama dari teori adalah mengubah dunia!

Ramadan di Yogyakarta, Sabtu 27 Juli 2013


Note:
Tulisan ini pernah dipublikasihan di tikusmerah.com. Kami menyadari, tulisan ini dipostkan di blog ini tanpa izin pengurus redaksi tikusmerah.com. Kami minta maaf yang sebesarnya, tetapi kami mempostting tulisan ini untuk kepentingan kita semua lebihnya orang Papua. Salam redaksi 


#NyamukPapua


Tidak ada komentar:

Posting Komentar