Orang Papua, ilustrasi. Foto: Ist.
|
Sa pu rambut keriting dan sa pu kulit hitam memang sa Papua,
tapi bukan berarti sa anak kaco
Tahukah Anda, bahwa genosida etnik itu telah kita rasakan secara terang-terangan saat ini. Mungkin saudara-saudara kita di mana pun berada sebagai orang Papua merasa bahwa hak asasi mereka telah hilang secara perlahan-lahan, bahkan ada yang dirampas secara paksa.
Tidak dipungkiri bahwa hal itu benar adanya, jadi jika itu terjadi di hadapan Anda dan saya, kita sudah harus tahu bahwa orientasi setiap orang (yang bukan Papua) sangat jamak, sehingga mereka memberikan definisi terhadap Papua menurut kriteria mereka.
Aku suka Papua karena Raja Ampat, Aku suka Papua karena Lembah Baliem, Aku Suka Papua karena Gunung Kartenz (Puncak Jaya/Salju Abadi), Aku suka Papua karena sumber daya alamnya, Aku suka Papua karena hutannya masih hijau, Aku suka Papua karena Persipura.
Ungkapan
itu adalah sebagian ungkapan orang (bukan Papua) yang keluar dari mulut mereka
dan direkam oleh telinga saya. Tahukah Anda, bahwa genosida etnik itu telah kita rasakan secara terang-terangan saat ini. Mungkin saudara-saudara kita di mana pun berada sebagai orang Papua merasa bahwa hak asasi mereka telah hilang secara perlahan-lahan, bahkan ada yang dirampas secara paksa.
Tidak dipungkiri bahwa hal itu benar adanya, jadi jika itu terjadi di hadapan Anda dan saya, kita sudah harus tahu bahwa orientasi setiap orang (yang bukan Papua) sangat jamak, sehingga mereka memberikan definisi terhadap Papua menurut kriteria mereka.
Aku suka Papua karena Raja Ampat, Aku suka Papua karena Lembah Baliem, Aku Suka Papua karena Gunung Kartenz (Puncak Jaya/Salju Abadi), Aku suka Papua karena sumber daya alamnya, Aku suka Papua karena hutannya masih hijau, Aku suka Papua karena Persipura.
Namun ketika terpikir di kemudian hari, kata-kata itu belum memenuhi sebuah pemaknaan khusus bagi Papua.
Tahukah Anda, apa itu? Aku suka Papua karena Orang Papua punya 'Kasih'. Sedih pastinya ketika mendengar ungkapan itu. Mungkin kalimat ini hanya terdengar lebih banyak di Gereja-gereja, namun itu tidak berarti Gereja mengakui kebenaran kalimat itu, bahkan sesungguhnya masih ambigu pemaknaan terhadap Papua.
Menulis ini membuat saya mengerti bahwa keberadaan sebagai orang Papua bukan sebuah kebetulan, namun intinya terhadap konsekwensi dan perjuangan yang harus ditentukan oleh bangsa besar ini sendiri.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah peradabannya.
Di Papua, kita memiliki peradaban besar meski dalam waktu singkat, mulai dari pola hidup tribal dan kemudian masuklah masa keemasan dan pancaran sinar kasih dari penyebaran misionaris dan zendeling pada tahun 1600-an hingga 1800-an.
Dari Fak-fak hingga Merauke merasakan jaringan penyebaran ini secara terorganisir hingga mengubah pola kehidupan sosial, budaya, ekonomi bahkan politik ke dalam pola-pola semi modern dan akhirnya mengenal dunia modern.
Saya menyebut ini sebagai politic goal to gold with gospel and glory. Periode kedua masuknya pemerintah kolonial secara besar-besaran dan akhirnya disahkan masuk ke dalam NKRI.
Sejarah singkat ini terjadi hanya dalam waktu 60-an tahun dan selanjutnya bangsa Papua telah mengenal kehidupan modern yang bilamana dibandingkan dengan suku Jawa yang secara umum mengalami masa ini dalam 350 tahun.
Tentu hal ini menjadi realita yang perlu dipahami oleh semua masyarakat, bahwa di setiap wilayah di Indonesia yang sangat luas ini memiliki keanekaragaman suku, bahasa yang membentuk budaya komunal di dalam sistem adat dan kebiasaan yang sangat berbeda.
Di Amerika pada masa menguatnya politik rasisme sangat kental, perjuangan orang kulit hitam (negro) berhasil mengubah arah politik rasis menjadi sangat demokratis, bahkan memiliki nilai humanis bagi setiap orang yang memiliki sejumlah kekayaan peradaban di negara tersebut.
Persepsi masyarakat terhadap etnis besar seperti Papua tentu diperlukan beberapa pengenalan lebih jauh, mengingat keragaman dan keberagaman yang mengisi sejumlah poin perbedaan berupa lingkungan, serta situasi dan perilaku yang berasal dari berbagai kebudayaan yang dimiliki masing-masing kelompok.
Dalam pemikiran saya, genosida etnik bukan saja terjadi dalam wujud kebijakan dan program pemerintah, tetapi juga lewat pola kehidupan masyarakat secara langsung.
Tahukah Anda, etnosida yang terjadi pada etnik Papua dalam berbagai bentuk, diantaranya dengan menggunakan stereotip buruk (justifikasi) terhadap kausalitas dari sisi biologis dan sosiologis yang dapat mempengaruhi psikologis seorang manusia Papua.
Ada juga upaya dukungan yang diberikan melalui isu lokalisme dan kedaerahan yang menjadi devide et impera bagi etnis Papua, bahkan timbul prejudice yang disebabkan karena suatu tindakan tidak obyektif dari pola hidup dan perilaku orang yang tidak representatif.
Terdiri dari 250-an suku bangsa dan 300-an bahasa membuat Papua sangat unik dan kompleks. Jadi, menguatnya paradigma umum (stereotip) terhadap penyatuan definisi Papua adalah simbol dehumanisasi yang menghancurkan orang Papua secara tidak langsung.
Hemat saya, hal ini merupakan genosida etnik (etnosida) terbesar yang diciptakan untuk mematikan ruang gerak etnis tertentu di berbagai bidang. Implikasinya mengarah pada upaya untuk tidak menganggap suatu etnis sebagai warga negara (warga negara asing).
Meski genosida yang nyata seperti dari efek transmigrasi nasional, pembasmian manusia dengan pemberontakan aparat, inaksesibility dalam bidang kebutuhan pokok manusia juga masif terjadi.
Akhirnya sampai saat ini orang Papua masih saja belum merasa puas dengan setiap keputusan pemerintah baik pusat maupun daerah. Bahkan asimilasi itu istilah baik dari satu kebijakan etnosida yang nyata bagi masyarakat Papua yang plural.
Mencintai Papua bukan mencintai atas dasar kepentingan, tetapi mencintai atas dasar pluralisme dan humanisasi. Orang Papua memiliki sikap dan karakter yang sangat dinamis sesuai konteks dan kenyataan.
Berperilaku baik adalah pilihan orang Papua, namun menjadi biadab adalah hasil dari konstruksi sosial yang diciptakan oleh sebuah sistem yang disebut hegemoni negara.
Kris Ajoi adalah Mahasiswa Pascasarjana, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, UGM, Yogyakarta 2014.
Note:
Tulisan ini pernah dipublikasihan di majalahselangkah.com. Kami menyadari, tulisan ini diostkan di blog ini tanpa izin pengurus redaksi majalahselangkah.com. Kami minta maaf yang sebesarnya, tetapi blog dibuat untuk kepentingan kita semua. Salam redaksi
Tulisan ini pernah dipublikasihan di majalahselangkah.com. Kami menyadari, tulisan ini diostkan di blog ini tanpa izin pengurus redaksi majalahselangkah.com. Kami minta maaf yang sebesarnya, tetapi blog dibuat untuk kepentingan kita semua. Salam redaksi
#NyamukPapua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar