Oleh: Ragil Nugroho
Saya punya teman, namanya Ignas Kleruk Mao. Asalnya dari Flores. Dulu
masih kurus kerempeng, sekarang sudah seperti Mike Tyson. Tapi tentu
bukan tentang tubuhnya yang ingin saya tuliskan, melainkan tentang
pengalamannya di krangkeng karena dianggap menghina presiden.
Sebagai anggota LMND [Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi] DIY,
Ignas mendapat tugas membantu pengorganisiran buruh dan mahasiswa di
Surabaya. Berangkatlah dia ke Surabaya bersama aktivis mahasiswa Yogya
lainnya. Saat itu bertepatan dengan kebijakan Rezim Mega menaikkan
BBM/TDL. Sikap LMND dan PRD dengan tegas menolak. Maka digelar
demonstrasi diberbagai kota.
Tentu saja di Surabaya aksi digelar. Ignas yang berada di Kota
Pahlawan itu ikut aksi. Sebagai bentuk protes, para demonstran membakar
foto Mega dan Hamzah Haz. Karena aksi ini semakin memanas dan terjadi di
berbagai kota, rezim Mega panas juga. Apalagi fotonya diinjak injak dan
dibakar. Aparat kepolisian kemudian diperintahkan untuk melakukan
tindakan represif terhadap demonstran. Ignas salah satu yang ditangkap.
Sebetulnya Ignas tidak membakar foto presiden maupun wakilnya. Tapi
Ignas membawa wayang-wayangnya berbentuk Mega. Tentu saja yang membuat
wayang-wayangan ini bukan profesional sehingga hasilnya tak mirip
aslinya. Mega yang dalam kenyataannya gemuk, dalam wayang-wayangan yang
dibawa Ignas langsing seperti J-Lo. Mungkin inilah yang dianggap
menghina presiden: Mega yang gemuk gombyor-gombyor digambarkan langsing
seperti J-Lo. Bukankah itu penghinaan? Makanya Ignas ditangkap pada
tanggal 21 Mei 2002.
Sebelum Ignas ditangkap, pada 13 Mei 2002, digelar aksi serupa. Pada
saat ini patung Mega sebesar gajah dibakar sebagai protes terhadap
rencana kenaikan BBM/TDL. Sebetulnya bukan pembakaran itu yang membuat
rezim Mega marah. Sebabnya lagi-lagi patung Mega tersebut dikerjakan
secara serampangan. Gemuknya sudah pas, tapi bagian payudara dan
pantatnya dibuat kekecilan. Tentu saja membuat orang yang dipatungkan
marah: masak payudara sebesar semangka cuma digambarkan sebesar jeruk
keprok. Bukankah itu penghinaan? Maka sejak itu PRD/LMND diincar. Dan,
puncaknya penangkapan Ignas.
Setelah proses di polisi selesai, Ignas diajukan ke pengadilan.
Akhirnya divonis satu tahun penjara. Selama waktu itu ia mendiami
penjara Medaeng.
Pelajaran dari kasus Ignas tersebut, kalau menggambarkan sosok
presiden harus tepat. Jangan misalnya membuat wayang-wayangan Jokowi
tapi bentuknya seperti Van Dam. Itu bisa dianggap menghina presiden.
Tentu saja bukan hanya Ignas yang ditangkap karena dianggap menghina
presiden. Di Yogya ada Mahendra, aktivis LMND dan Yoyok, aktivis SPI
[Serikat Pengamen Indonesia]. Mereka ditangkap setelah aksi di Bunderan
UGM. Dalam aksi tersebut foto Mega dan Hamzah Haz si Peci Miring
dibakar. Kedua aktivis tersebut kemudian di bawa ke Polres Sleman.
Sebetulnya Mahendra tidak membakar, tapi karena yang memimpin aksi, ikut
ditangkap juga.
Prosesnya sudah klise. Setelah proses di polisi selesai kemudian
diajukan ke pengadilan. Nah, di pengadilan ini yang seru. Kedua aktivis
tersebut kena pasal menghina kepala negara, tapi lagi lagi lewat pledoi,
mereka kembali melakukan penghinaan. Kebetulan pledoi tersebut saya
yang tulis. Isinya yang 70 halaman memang menghina rezim Mega. Maka
hakim pun tak kuat ketika pledoi dibacakan. Baru halaman 10, hakim
mengetok palu, memerintahkan agar pembacaan pledoi dihentikan. Akhirnya,
setelah berbulan-bulan diadili, keduanya dijatuhi hukuman 3 tahun
penjara. Inilah hukuman terlama pasca reformasi dikenakan pada aktivis
dianggap menghina presiden.
Rezim Mega tak hanya menggunakan pasal penghinaan untuk menghentikan
demonstrasi mahasiswa. Tapi juga dengan teror. Kejadian yang akan saya
ceritakan ini terjadi di jembatan Sayegan. Sepulang aksi di perempatan
kantor pos Yogyakarta, Paulus Suryata Ginting, aktivis LMND, membonceng
saya. Pelan pelan saja sepeda motor melaju. Santai sembari menikmati
udara Yogya. Tiba-tiba, sampai di jembatan Sayegan, sekelebat saya lihat
sepeda motor memepet kami. Tanpa bilang apa-apa, yang dibelakang
mengayunkan benda (ternyata golak) ke kepala saya. “Prok”, helm yang
saya gunakan pecah dua. Kontan saja, melihat diserang, saya lompat dari
sepeda motor. Setelah itu pembacok tadi mengayunkan goloknya ke Paulus.
Helmnya juga pecah. Ternyata kepala berdarah-darah. Saya sendiri merasa
beruntung, walaupun ditebas pakai golok, tidak luka seincipun.
Sebetulnya, sebelum peristiwa ini, saya sudah pernah dibacok preman
bayaran. Kejadiannya pada tahun 1999 di sekre PRD Yogyakarta. Malam hari
kejadiannya. Tiba-tiba segerombolan orang menyerang. Saya yang dekat
dengan pintu sehingga melihat penyerang datang, teriak kalau ada
penyerangan, sehingga yang di dalam rumah berhamburan menyelamatkan diri
lewat pintu belakang. Saya yang berada paling belakang tak sempat
menyelamatkan diri. Pada akhirnya punggung saya kena tebasan golok. Mau
tidak mau saya berbalik. Ketika golok dianyunkan lagi, saya tangkis. Dua
bacokan mengenai tangan. Entah kenapa si pembacok tiba tiba kabur. Maka
selamatlah saya. Kalau pembacok tidak kabur, mungkin diri saya tinggal
nama.
Akhirnya Paulus yang terluka parah kepalanya di bawa ke rumah sakit
Panti Rapih. Dokter harus menjahit 30 jahitan untuk menghentikan
pendarahan. Paulus pun akhirnya bisa diselamatkan.
Teror-teror seperti itu tak berhenti. Setelah Paulus kepalanya
ditebas golok, beberapa waktu berselang sekretariat PRD/LMND Yogya
dilembari bom molotov. Kejadiannya malam hari. Saat penghuni sedang
bersantai, segerombolan orang melempar bom molotov. Tentu saja para
penghuni rumah panik. Berhamburan menyelamatkan diri. Setelah penyerang
pergi, baru diketahui sepeda motor yang di parkir di halaman depan
dihancurkan dengan golok. Sebab musabab penyerangan itu tentu saja
berkaitan dengan demonstrasi melawan kebijakan rezim Mega.
Tentu saja yang ditangkap dan diteror tidak hanya di Yogya. Di
kota-kota lain seperti Semarang, Jakarta, Palu, dll. Rata rata yang
diajukan ke pengadilan dihukum 6 bulan sampai 1 tahun. Tentu saja yang
dikenakan pada mereka karena menghina kepala negara.
Kisah ini saya angkat kembali untuk mengingat masa ketika rezim
Mega/PDIP berkuasa. Dan sekarang mereka berkuasa kembali. Maka tak
mengherankan kalau pasal penghinaan akan dihidupkan lagi. Semua itu tak
mengejutkan karena iman demokrasi yang dimiliki PDI P setipis rambut
dibelah seribu. Ya: Menitipkan kekuasaan pada PDIP seperti menitipkan
dendeng pada anjing.
Dan, untuk menghadapi situasi ini pilihannya hanya dua: diam takluk, atau bangkit melawan.***
Lereng Merapi. 10.08.2015
Note:
Tulisan ini pernah dipublikasihan di
tikusmerah.com. Kami menyadari,
tulisan ini diostkan di blog ini tanpa izin pengurus redaksi tikusmerah.com. Kami minta maaf
yang sebesarnya, tetapi blog dibuat untuk kepentingan kita semua. Salam
redaksi